Relasi Agama, Budaya, dan Politik
Dokumentasi Pribadi |
Trialektika merupakan buku bunga
rampai hasil diskusi selama dua tahun yang diselenggarakan oleh Studia Humanika
Salman ITB ataupun Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB. Seperti bunga rampai pada
umumnya, tentunya isi buku tersebut merupakan kumpulan banyak tulisan dari
beberapa orang dalam diskusi-diskusi yang telah dilaksanakan. Secara garis
besar buku ini membahas tiga tema pokok yakni agama, budaya, dan politik.
Mengawali isi dari buku ini kita
akan berlayar dalam lautan khazanah spiritualitas yang dikemukakan oleh Editor
buku sendiri yakni Alfathri Adlin. Ihwal spiritualitas ini menjadi pijakan
dalam pembicaraan soal bagaimana agama sering berbenturan-atau
dibenturkan-dengan budaya. Pembahasan spiritualitas dimulai dari pengertian-pengertian
yang lahir di Timur maupun di Barat. Dalam khazanah intelektual Timur spiritual
masih lekat kaitannya dengan agama sedangkan pengertian spiritualitas di Barat
sudah tidak lekat dengan agama melainkan kepada intensitas pengalaman yang tak
lazim di alami seseorang namun berbeda dari keseharian biasanya.
Pembahasan ihwal relasi agama dan
budaya dibahas lebih lanjut oleh Hawe Setiawan yang berangkat dari tolok ukur
primordialisme dalam hal ini primordialisme budaya sunda. Hawe menekankan bagaimana
di wilayah Priangan gunung menjadi salah satu hal penting dan guriang sebagai
ruh dari pegunungan tersebut. Hal tersebut tidak lepas dari sejarah yang
menyebutkan bahwa daerah Priangan merupakan hasil dari letusan gunung sunda
purba di masalalu, serta Bandung Raya yang merupakan cekungan.
Pembahasan beralih kepada relasi
antara agama dan politik. Yasraf Amir Piliang membuka pembahasannya dari budaya
yang saat ini berkembang dimana postmodernisme yang mengusung wacana
dekontruksi penolakan atas narasi-narasi universalisme, nasionalisme dan
sentralisme, dalam rangka mewadahi narasi-narasi pluralisme. Namun, di lain
pihak Islam berada pada posisi yang mendapat label negatif berupa ektrimisme,
fundamentalisme, terorisme, diskriminasi gender, dan label negatif lainnya,
sehingga menimbulkan apa yang dinamakan sebagai islamophobia di dunia barat. Untuk menjawab permasalahan tersebut
lantas timbul pertanyaan, apakah pembentukan negara Islam merupakan suatu hal
yang mutlak dilakukan? Atau bukan membentuk negara Islam akan tetapi membina
masyarakat yang diridhai Allah Swt.?
Pertanyaan yang diajukan dalam
tesis Yasraf tersebut mendapat jawaban dari tulisan selanjutnya yakni dari Yudi
Latif. Dimana tulisan tersebut membahasa relasi antara agama dan negara. Meskipun
Indonesia merupakan negara dengan umat Muslim terbesar di dunia, namun hal
tersebut tidak serta merta menjadikn Indonesia sebagai negara Islam.
Religiusitas masyarakat sejak Nusantara telah menerima keragaman dalam
berkeyakinan. Namun, tidak dapat dipungkiri justru disaat kematangan bernegara
mulai tumbuh disitulah kekerasan yang mengatasnamakan agama mulai bermunculan
dan masi dilakukan. Bahkan, Jawa Barat yang notabene sebagai daerah yang aman
dan damai justru saat ini menepati posisi pertama dalam tindak kekerasan atas
nama agama di Indonesia.
Untuk itu, Bambang Sugiharto menjelaskan
bahwasanya di dalam dunia modern ini persoalan agama bukan semata persoalan
manusia dengan Tuhan-Nya(personal), akan tetapi agama menjadi persoalan sosial.
Etika personal seorang penganut agama menjadi persoalan struktur sosial dan
budaya sehingga tanggung jawab adalah inti dalam beragama saat ini. Namun,
sering kali doktrin-doktrin agama yang berkembang rawan untuk diselewengkan
menjadi sebuah dogma yang mau tidak mau harus diterima oleh kelompok umat
beragama. Sehingga kecenderungan umat beragama untuk bersifat totaliter dan
ideologis radikal sangat mungkin terjadi. Ketika yang “liyan” dianggap tidak
semestinya dilakukan bahkan tidak semestinya ada bisa menjadi pemicu bagi
perbuatan tidak manusiawi sehingga memiliki legitimasi untuk diperlakukan bukan
seperti manusia, padahal yang dilakukannya adalah berupa “keyakinan” beragama
yang kuat.
Ihwal relasi agama dan filsafat
seperti yang disinggung dalam tulisan Bambang Sugiharto, dalam tulisan Bambang
Q Anees ini lebih berfokus pada rasionalitas: apakah agama dan filsafat dapat
dipadu padankan? Atau kah keduanya meupakan dua dimensi yang berbeda? Apakah
agama mengakomodir berkembangnya filsafat? Ataukah filsafat yang memang tidak
sejalan dengan agama? Pertanyaan-pertanyaan mencoba untuk dijawab. Selanjutnya
dengan beranjak dari pernyataan Zainah Anwar bahwa Indonesia merupakan tolok
ukur keterbukaan dialogis antara perempuan dan Islam, Kurniasih mencoba untuk
membedah bagaimana relasi kuasa perempuan dan Islam serta proses dialog
diantara keduanya. Apakah sistem patriaki yang dominan di Indonesia bukan
menjadi halangan bagi proses dialogis tersebut? Apakah hukum Islam tidak cukup dalam memberikan ruang dalam wacana
dialogis perempuan dan Islam? Dengn menggunkn hermeneutika dalam penafsiran
ayat-ayat Al-qur’an, ia mencoba untuk membedah bagaimana seharusnya tasiran
diperlakukan. Mengingat ada kecenderungan untuk mensucikan produk tafsir sama
sucinya dengan idealitas Islam itu sendiri.
Selanjutnya tulisan Dian Nurachman
mengangkat hwal agama dan sastra. Dengan menelusuri historisitas sastra maupun
agama, pembahasan mengarah pada keslarasan antara sastra dan agama. Sastra
sebagai sumber nilai tidak hanya mewariskan norma kehidupan, akan tetap mampu
menjawab tantangan zaman. Pembahasan budaya literasi tersebut berlanjut kepada
tulisan Budhiana Kartawijaya. Dimana dalam tulisannya Budhiana membahas perihal
budaya digital. Dalam budaya digital ekspresi literasi tidak hanya diungjapkan
dalam bentuk tulisan, namun bisa diungkapkan dalam bentuk lain seperti visual
dan bahasa lisan dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk. Hal tersebut tidak
terlepas dengan adanya internet sebagai penyebar informasi dalam dunia digital.
Namun, internet pula yang memunculkan paradoksal seperti: bagaimana nilai-nilai
lokal, etnisitas, tradisi, ikatan keagamaan, bahkan undamentalisme menguat dan
memiliki medium baru dalam penyebarannya. Hal tersebut menurutnya terjadi
lantaran adanya konvergnsi media yang menyebabkan timbulnya networking society, dan tumbuhnya
komunitas diaspora di Barat.
Pembahasan selanjutnya beralih pada tema agama dan film yang
disajikan Haryo Tejo Bawono dan Harifa Ali Albar Siregar. Haryo merumuskan
budaya secara sederhana pada awalnya sebagai konstruksi manusia. Adapun
film-sebagai salah satu seni termuda-merupakan konvergensi dari semua seni yang
sebelumnya lebih dulu ada. Di dalam film kita bisa melihat peleburan antara
sastra, musik, teater, dan seni lainnya. Selain itu film merupakan medium yang
memiliki daya resap yang paling kuat diantara yang lainnya, penyuebarannya yang
global dan populer. Lalu, pembahasan berlanjut terkait relasi antara agama,
budaya dan pembacaan film berdasarkan perspektif teologi maupun kebudayaan.
Sementara itu, Harifa mencoba menganalisis film menggunakan pisau psikoanalisis
untuk melihat bagaimana tontonan film sebagai budaya visual menjadi suatu usaha
dalam mencari kepuasaan jiwa. Karena film merupakan salah satu produk dari
budaya visual maka dalam setiap tontonannya akan terjadi suatu “ketaksadaran”
bagi si penonton terhadap budaya visual yang ditontonnya, dengan bantuan teori
psikoanalisis Jacques Lacan, ia berusahan memperlihatkan bagaimana tontonan
bisa memengaruhi seorang ibu rumah tangga untuk “kecanduan” terhadap
tontonannya, bahkan cenderung untuk mengidentifikasi dirinya seperti yang ada
di dalam totntonan.
Empat tulisan berikutnya membahas
ihwal agama dan musik, khususnya skena undergroun.
Masing-masing ditulis oleh Idhar Resmadi, Lingga Agung Partawijaya, Yuka
Dian Narendra, dan Hikmawan Saefullah. Idhar megawali pembahasannya mengenai
fenomena hijrah yang dilakukan oleh para musikus tanah air, seperti Reza, ex-drummer Noha, Berry Saint Loco,
sementara musikus pendahulu seperti Gito Rollies, Hary Mukti, dan Sakti “SO7”.
Fenomena hijrah tersebut memperlihatkan bahwa hijrah bukan sesuatu yang baru.
Jenis hijrahnya pun berbeda, ada yang hijrah total mulai dari dirinya sendiri
hingga hijrah dari musik dan menganggapnya sebagai sesuatu yang haram untuk dimainkan.
Ada pula yang hijrah dan tetap menggunakan musik sebagai medium untuk
berdakwah, bahkan jenis musik cadas menjadi medium dakwah. Terlepas dari
pro-kontra penggunaan musik sebagai medium dakwah, ditambah jenis musik yang
digunakannya bergenre cadas ataupun sejenisnya, kita harus melihat bahwa hijrah
merupakan fenomena personal dan ketika musik dijadikan medium dakwah berarti
sudah memasuki gerakan sosial. Sementara itu, Lingga memaparkan skena musik underground sebagai subkultur pada
awalnya melakukan resistensi terhadap agama, negara dan kapitalisme yang secara
simbolik merupakan insitusi kekuasaan. Namun, seiring berjalannya waktu dan
kondisi kultural pemusik itu sendiri, skena musik underground yang notabene resisten terhadap institusi kekuasaan
seperti diatas, malah menjadi lekat dan dekat terhadap institusi tersebut. Justru
skena undergroun menjadi medium untuk
mengekspresikan religiusitas pemusik itu sendiri.
Selanjutnya, Yuka mengamati
fenomena glokalisasi-pengadaptasiai-dari
skena underground terhadap kultur
budaya yang ada di Indonesia. Misalnya dengan munculnya Javanese Black Metal
(JBM) dimana skena musik black metal dipadupadankan dengan unsur-unsur kejawaan
membuahkan suatu alternatif baru bagi ragam jenis black metal itu sendiri.
Selain itu, munculnya JBM merupakan upaya untuk menangkal Islamisme yang
cenderung merampas budaya khas dari Jawa itu sendiri. Yuka mencoba untuk
membandingkan antara JBM dengan Norwegian Black Metal (NBM) dalam skena musik
ini. JBM dan NBM pada dasarnya memiliki kesamaan dalam hal resistensi terhadap
agama. Jika NBM melakukan resistensi terhadap agama dan mendorong untuk
mempromosikan paganisme, sedangkan JBM resisten terhadap kebudayaan
dominan-dalam hal ini Islam-untuk mempromosikan Mistisisme Jawa dalam hal ini
Kejawen dalam musik-musik yang dibawakannya. Sedangkan Hikmawan melihat bahwa
subkultur mempunyai relasi yang kuat dengan wacana agama dan politik agama. Di
Barat, agama bukan pilihan komunitas punk, sedangkan di Indonesia justru
sebaliknya. Agama memegang peranan penting bagi kebanyakan punk dan menjadi
sumber kebutuhan spiritual. Bahkan kemunculan kolektif-kolektif underground berbasis agama yang
mengusung Islamisme sebagai basis ideologisnya seperti Komunitas Salam Satu
Jara (KSSJ), Ghurabaa Militant Tauhid (GMT) dan lainnya merupakan warisan dari
kontradiksi yang muncul. Hal tersebut menunjukan bahwa skena musik underground menjadi wadah bagi
pergerakan kolektif berbasis agama untuk mengkampanyekan Islamisme yang mereka
usung.
Tulisan terakhir dan menjadi
penutup buku ini adalah tulisan yang disajikan oleh Harifa Ali Albar Siregar.
Berbeda dengan tulisan sebelumnya yang membahasa relasi agama dan film. Pada
tulisan ini ia mencoba untuk menyoroti fenomena subkultur-khususnya skena underground-merupakan kelanjutan dari
resistensi Orde Baru terhadap musik uncderground
yang di cap “kiri”. Dimana Indoneia merupakan sebuah keluarga dalam
filsafat orde baru, Soeharto bertindak sebagai bapak bangsa dan masyarakat
Indonesia sebagai anak-anaknya. Sebagai seorang anak maka kehendak si anak akan
ditentukan oleh sang orang tua dalam hal ni bapak, namun seiring berjalannya
waktu si anak mulai dewasa dan bapak sudah tidak serta merta mencampuri hidup
anak. Sehingga, ada saatnya Soeharto untuk lengser
keprabon, mandeg pandita.
Demikianlah ulasan singkat mengenai
buku Trialektika ini. Buku yang terdiri dari tujuh belas tulisan ini semoga
bisa menambah khazanah intelektual kita semua dan menambah litelatur dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan berkontribusi dalam pengembangan budaya
literasi di Indonesia khususnya generasi mudanya, sehingga tidak terkungkng
oleh satu pemahaman, akan tetapi terbuka dan bisa berdiskusi dalam tema apapun.
Comments
Post a Comment