Posts

Showing posts from March, 2020

Ihwal Covid-19 (3) : Kereta

Biasanya setiap pagi aku sudah bersiap menuju kampus. Menggendong tas, memakai jaket, jenas lusuh, sepatu kets yang sudah berlubang di dekat kelingking kanan. Selepas subuh aku berjalan kaki menuju stasiun. Jarak antara rumah dan stasiun tidak mencapai satu kilometer. Dan itu bisa dijangkau hanya dengan berjalan kaki. Kereta pertama berangkat pukul 05.25 dan aku sudah harus sampai disana maksimal sepuluh menit sebelum keberangkatan kereta. Kereta sudah bersiap disana, setelah membeli karcis seharga lima ribu rupiah, menscan kepada petugas, aku langsung masuk kereta dan mencari tempat yang kosong. Setiap baris terdapat lima titik penumpang yang terbagi atas 3 kursi dan 2 kursi. Kereta dipagi hari ini dipenuhi oleh para pelaar, pegawai, dan para pedagang. Diantara semua penumpang para pedagang menjadi yang lumayan menarik perhatian. Selain karena dagangan yang ia bawa, yang kadang dimensinya berlebihan. Ia pun sesekali bermain petak umpet dengan petugas kereta. Di kereta tidak diperbole

Tentang Manusia Bebal

Manusia adalah mahkluk yang paling tinggi derajatnya di ajtara mhkluk lainnya, katanya begitu. Sampai malaikat dan setan pun disuruh untuk menyembah. Bedanya ada yang menerima untuk menyembah ada yang menolak. Tapi malaikat dan setan tetap mahkluk yang setia kepada sang pencipta. Ia bersedia melakukan perintah-Nya. Sampai akhir dimana ciptaan kembali kepada-Nya. Apa yang menjadikan manusia memiliki derajat yang paling tinggi? Ada yang bilang karena manusia memikiki akal yang bisa memutuskan kehendaknya masing-masing. Pendapat ini masih menjadi pendapat mayoritas nampaknya. Tapi benarkah demikian? Apakah akal manusia itu akan berdampak kepada derajatnya di muka bumi.  Jika kita melihat kondisi yang terjadi saat ini. Disaat pandemi Covid-19 menjalar di dunia, termasuk Indonesia. Maka, kita akan melihat bagaimana mahkluk yang memiliki derajat tinggi tersebut terlihat bebal, dogmatis, anti-rasionalitas. Manusia-manusia seperri itu nampaknya bukan manusia seperti yang dikehendaki pencipta s

Ihwal Covid-19 (2)

Hari ini aku membaca cerita tentang seorang PDP Covid-19. Dalam cerita itu ia tidak memiliki oenamganan yang baik. Disemua fasilitas kesehatan. Hingga harus mengembuskan napas terakhirnya di salah satu rumah sakit yang bukan rujukan. Aku menduga ia bukan satu-satunya orang yang mengalami nasib demikian. Bisa jadi orang-orang yang sudah meninggal karena Covid-19 ini beberapa mengalami nasib yang sama. Juga orang yang saat ini berstatus suspect bisa jadi sedang mengalami hal demikian. Ditelantarkan. Dibiarkan. Dan menunghu kematian datang. Kita bisa saja menyalahkan rumah sakit akibat lalai dalam menjalankan tugas. Para dokter, tenaga medis yang ada di rumah sakit. Tapi bukan disitu sebenarnya letak lubak hitamnya. Menurtku, dalam siatuasi saat ini tidak ada penanganan yang komprehensif dari otoritas. Pemerintah dalam hal ini masih sebatas pemerintahan seremonial. Tidak mampu menjangkau kepada inti permasalahan. Sebut saja konferensi pers yang mengundang banyak orang, di saat pemerintah

Ihwal Covid-19 (1)

Para 'pecinta alam' sering bilang bahwa untuk mengetahui sifat asli seseorang maka ajaklah ia untuk mendaki gunung. Saat ini ungkapan tersebut memiliki saingan. Ditengah pandemi Covid-19 ini bisa kita kihat bagaimana sifat manusia sebenarnya. Ada yang bersolidaritas. Ada yang berorientasi pada keuntungan. Ada pula yang memiliki otak kejahatan. Pun begitu yang terjadi pada pejabat publik beserta reng-rengannya. Ada yang kelabakan. Ada yang hobinya menuduh orang. Ada yang cengegesan. Ada yang meremehkan.  Aku membayangkan di angkasa sana. Diluar bumi, ada yang memerhatikan bumi dengan segala isinya. Mereka hanya memandang bagaimana bumi yang sudah keropos ini berputar. Di dalamnya terlihat makhluk-makhluk kecil berkeliaran. Kini makhluk itu sedikit yang berkeliaran. Pemerhati ini pun bingung. Ini bukan seperti bumi yang biasa. Ia terus memerhatikan bumi. Dilihatnya dengan teliti. Porosnya masih sama, tidak ada perubahan. Memang dari segi isi ia melihat banyak perubahan. Bumi yang

Wanita Yang Hidup Lebih Lama Dua Ratus Tahun

Aku mendengar dongeng ini dari pengunjung bar-ku. Dongeng ini ia ceritakan menjelang tengah malam. Saat pengunjung bar mulai lengang. Menjelang waktu operasional bar tutup. Ini satu-satunya cerita yang ia ketahui. Kisah tentang wanita yang hendak menjalankan ritualnya. “Kau pernah masuk ke gedung yang ada di sebrang?’ Kalimat itulah yang menjadi awal dongeng yang ia ceritakan. Aku sedikit bekernyit. Aku tidak tahu arah pembicaraannya. Gedung itu adalah Kedutaan besar Jerman. Dan aku tidak memiliki kepentingan untuk masuk ke dalam sana. “Belum." Jawabku sambil menuangkan anggur ke gelasnya. “Ah, tentu saja kau belum pernah ke sana. Bahkan untuk sekedar keluar dari tempat ini pun kau ragu.” Ia menjawab sambil menenggak anggur yang aku sodorkan. Aku belum mengerti arah pembicaraannya. “Untuk apa aku ke sana?” Dia memajukan tubuhnya ke arahku dan berbisik, “akan aku ceritakan sebuah kisah. Yang terjadi di tempat asal orang-orang di dalam sana. Cerita yang aku dapatkan saat aku tinggal

Pecundang Teriak Pecundang

Image
Tangkapan Layar atas Tweet @fadjroel Para pecundang politik mencoba mengail keuntungan di tengah kesulitan masyarakat melawan Covid-19. Kita catat perilaku mereka, selain melawan Covid-19, kita bersama melawan para pecundang politik. Insya Allah kita menjadi pemenang! Ber-sama2 dalam #GotorngRoyongKemanusiaan ~ FR Itulah petikan dari kicauan Fadjroel Rachman, juru bicara presiden yang diunggah di akun twitter miliknya @fadjroel pada 22 Maret 2020 pukul 13.36 WIB. Oh ya, sebagai informasi akun twitter miliknya ini walaupun sifatnya pribadi tetapi ia dipegang oleh sebuah tim. Yang membedakan apakah kicauannya dilakukan oleh ia sendiri atau oleh tim adalah tanda “~ FR” diakhir. Apabila tanda tersebut muncul maka itudalah kicauan dia secara langsung. Begitu. Fadjroel tentunya memiliki kepentingan atas hal tersebut. Mengingat posisinya sebagai juru bicara presiden, dimana saat ini tegah dipertanyakan kerja kolektif dari kabinet dan jajarannya dalam menangani waba

Berdagang Darah

Image
Dokumentasi Pribadi Buku ini bercerita mengenai seorang cucu, anak, pemuda, suami, ayah, yang menjadi pedagang darah. Selepas roh bapaknya terbang dan ibunya lari bersama lelaki lain. Ia hidup bersama paman ketempat dan kakeknya. Disebuah desa yang dikenal sebagai desa para penjual darah.  Setiap tiga bulan sekali, para lelaki dewasa pergi ke rumah sakit di kota untuk menjual darah. Dalam sekali jual, dua mangkuk darah/400 ml disedot dari dalam tubuhnya. Sebagai imbalan uang 35 yuan mereka dapatkan. A Fang dan Genlong yang pertama mengajak ia untuk menjual darah. Katanya, sekali jual darah ia bisa gunakan untuk kawin. Xu Sanguan, lelaki yang ditinggal bapak dan ibunya itu pun ikut bersama mereka. Benar saja, sekalinya jual darah ia bisa dapatkan uang yang cukup banyak. Uang itu ia gunakan untuk mentraktir Xu Yulan, si Putri Cakwe. Bukan tanpa maksud, itu adalah cara untuk mengawininya. Hanya dengan hati babi goreng, dua liang arak kuning hangat beserta camilan la

Potret Urban

Image
Dokumentasi Pribadi Novel ini bercerita tentang hiruk pikuk yang terjadi di ibu kota, Jakarta. Sekitar tahun 1950-an. Saat Indonesia belum lama memproklamasikan kemerdekaan, sesaat setelah Belanda mengakui kedaulatan. Pun saat di parlemen terjadi pergolakan ihwal konstitusi. Cerita yang ada didalamnya tidak hanya relevan saat kejadian itu terjadi. Dimana Mochtar Lubis selesai menuliskannya tahun 1957. Tapi sampai hari ini pun ceritanya masih terus berlangsung. Bagaimana potret kehidupan orang-orang kecil. Yang secara kultural dan struktural terpinggirkan. Bukan karena mereka tidak menghendaki, tapi akses untuk mencapainya saja sudah terhalang tembok. Praktik penindasan antar sesama warga masih terjadi. Bahkan hanya karena yang satu berada dijalanan dan yang lainnya duduk di balik meja. Lebih jauh dari itu, praktik penindasan terus dilakukan elit politik. Bagaimana segelintir orang bisa menguasai ritme kehidupan bangsa dan negara. Dimana dampaknya sangat ter

Ihwal Sumur

Anak itu begitu cekatan, ia ambil ember yang ada di bibir sumur. Dilemparkannya kedalam,  lantas ia pegang tali gantung di katrol tunggal. Terdengar suara ember menyentuh air, ember di tarik ulur beberapa kali. Menunggu air mengisi penuh ember, lantas ia menariknya kembali ke atas. Ember berisi air itu ia isikan, kedalam bak yang ada disampingnya. Beberapa kali ia lakukan kegiatan itu, hingga bak terisi dengan sempurna. Setiap pagi pasti ia menimba air, lebih kepada memenuhi kebutuhan. Sebelum ia berangkat ke sekolah, ataupun saat libur berdiam diri dirumah. Sekarang air sumur cukup berbau, sehingga hanya bisa dipakai kandi saja. Untuk memasak ia harus menunggu, menunggu tanki air kiriman pemerintah. Itupun tidak dtang setiap hari,  paling banyak 3x dalam seminggu. Dan harus berbagi dengan warga lain, yang mengalami nasib yang sama. Sejak pabrik berdiri dikampungnya, air sumur sedikit berbau. Bukan hanya itu saja, kini volumenya pun sedikit. Ada dilema dalam sumur warga disana, antara

Jas Hujan

Awalnya masih bimbang Apakah transportasi umum atau pribadi Wabah korona semakin merebak Kebimbangan makin memuncak Setelah datang Aku lantas pergi Bersama si kuda besi Dibanding si ular besi Cuaca cukup cerah Saat mulai beranjak pergi Diperbatasan kota Rintik hujan mulai turun Aku memutuskan tidak memakai jas hujan Mengingat intensitas air hujan masih kecil Itupun tidak sepanjang perjalanan Hanya dibeberapa petak jalan yang turun hujan Kami tiba disebuah toko Toko yang menjual bermacam barang Utamanya kertas-kertas yang dijilid Yang dapat ditemui diaetiap sudut toko Aku membeli beberapa susunan kertas Yang telah dijilid rapih Dan berisi tinta-tinta hitam Yang tercetk di setiap lembarnya Waktu menunjukan pukul lima sore Air hujan mukai turun dengan deras Kami memutuskan untuk pulang Walaupun harus menerjang hujan Jas hujan kami kenakan Berwarna marun dan dongker Dari brand yang sama Yang menutupi kami daei derasnya air hujan Tak sia-sia aku membawa dua stel jas hujan Satu di bagasi dan

Terus Tumbuh

Waktu terus berjalan Meskipun kita diam Waktu terus berkurang Meskipun hidup berjalan Kadang aku berfikir Tentang potret masa depan Kadang aku meninjau Kejadian yang telah lampau Memaki diri sendiri Ketimbang menyalahkan orang lain Intropeksi dalam diri Ketimbang berkoar aib orang lain Merasa usaha kita maksimal Padahal itu belum seberapa Merasa menjadi pejuang Padahal tak memberi dampak apa-apa Dalam diam aku ada Dalam gerak aku tiada Dalam diam aku merasa Dalam gerak aku sengsara Sulit memang Menyatukan kontradiksi yang ada Padahal kita tak perlu bersatu Kita hanya butuh bersama-sama Bencana silih berganti Bukan untuk mempersatukan Tapi untuk terus bersama Bersama melanjutkan hidup PDL, 14 Maret 2020

Kebebasan dan Belenggu

Image
Dokumentasi Pribadi Kebebasan merupakan salah satu fitrah manusia. Manusia dengan kehendaknya sendiri bisa menentukan apa yang menurutnya baik, buruk, benar, salah. Manusia dengan kehendaknya sendiri bisa memutuskan apakah ia akan melakukan atau berdiam diri. Kebebasan yang diperoleh manusia tidak serta merta bisa kita terapkan dalam kehidupan, banyak hambatan, rintangan, belenggu yang membatasinya. Baik yang timbul dari dalam diri maupun yang berasal dari luar. Disitulah titik dimana kebebasan menjadi kontraproduktif dalam pelaksanaannya. Seperti yang dikisahkan Okky Madasari dalam novelnya, Pasung Jiwa. Kebebasan menjadi titik awal bagaimana kisah Sasana dan Jaka Wani dalam novel. Dua orang tersebut merupakan tokoh utama dalam perdebatan antara kebebasan dan belenggu yang mengkerangkengnya. Sasana yang merupakan anak dari Dokter dan Pengacara sejak kecil merasa dirinya berada pada kondisi yang mematikan. Kondisi dimana dirinya tidak sepenuhnya merasa seba