Ihwal Covid-19 (2)

Hari ini aku membaca cerita tentang seorang PDP Covid-19. Dalam cerita itu ia tidak memiliki oenamganan yang baik. Disemua fasilitas kesehatan. Hingga harus mengembuskan napas terakhirnya di salah satu rumah sakit yang bukan rujukan.

Aku menduga ia bukan satu-satunya orang yang mengalami nasib demikian. Bisa jadi orang-orang yang sudah meninggal karena Covid-19 ini beberapa mengalami nasib yang sama. Juga orang yang saat ini berstatus suspect bisa jadi sedang mengalami hal demikian. Ditelantarkan. Dibiarkan. Dan menunghu kematian datang.

Kita bisa saja menyalahkan rumah sakit akibat lalai dalam menjalankan tugas. Para dokter, tenaga medis yang ada di rumah sakit. Tapi bukan disitu sebenarnya letak lubak hitamnya. Menurtku, dalam siatuasi saat ini tidak ada penanganan yang komprehensif dari otoritas.

Pemerintah dalam hal ini masih sebatas pemerintahan seremonial. Tidak mampu menjangkau kepada inti permasalahan. Sebut saja konferensi pers yang mengundang banyak orang, di saat pemerintah menghimbau untuk physical distancing. Pemerintah sibuk dengan urusan-urusan yang bersifat seremonial. Sehingga lupa pada hal yang esensial.

Aku jadi teringat kepada si pemerhati itu. Pemerhati yang tetapnsetiap melihat bumi yang berputar. Masih berputas pada poros yang sama. Sejak pertama, hingga saat ini. Pemerhati itu tidak tahu berita tentang kematian tadi. Bahkan di bumi sedang ada pandemi Covid-19 pun ia tak tahu. 

Ia hanya tahu bahwa bumi terus berputar. Bumi terus berubah dari segi bentuk dan isi didalamnya. Bumi yang kini tidak segemerlap seperti bumi yang beberapa waktu ia lihat. Bumi yang sudah tidak penuh semut yang kesana-kemari.

Semoga semua lekas pulih. "Aku menunggu bumi seperti yang aku lihat sebelumnya," pemerhati itu bergumam dalam perhatiannya ke bumi.



PDL, 28 Maret 2020

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali