Asep, Kopi dan Rokok

Sumbergambar: bungkusrokok.com
Semilir angin menghempaskan seseorang dalam kesunyian malam.  Secangkir kopi hitam dan sebatang rokok menjadi menu santap malamnya. Asep Mulyana, itulah seorang pemuda kelahiran Bandung 17 tahun silam yang kini tengah menikmati hari-harinya setelah hiruk pikuk Ujian Nasional yang ia hadapi. Dipojokan sebuah pos ronda ia dengan penuh kenikmaan merasakan setiap tegukan kopi yang diminumnya. Tak lupa kepulan asap yang senantiasa keluar dari mulut dan hidungnya. Baginya momen saat ini adalah momen yang penuh makna.

Hampir 17 tahun aku mengenalnya. Kami lahir ditanah yang sama. Di kampung yang sama. Tetapi dari bapak dan ibu yang berbeda tentunya. Malam ini seperti malam-malam yang biasa kami lalui sebelumnya. Kami habiskan waktu menikmati indahnya malam. Kerlip bintang menghiasa langit malam. Seakan memanggil kami untuk menggapai dan menari-menari dengannya. Biasanya kami melakukan hal ini dihari sabtu malam hinggga minggu pagi, mengingat sekarang proses KBM disekolah sudah selesai maka kamipun leluasa melakukannya kapanpun.

Asep masih terbuai dengan santap malamnya. Tak banyak yang ia lakukan saat seperti ini. Akupun sungkan untuk menegurnya. Seolah-olah terciptanya ruang waktu baru yang dikhususkan untuk Asep. Karena hal ini sudah cukup lama ia lakukan. Maka akupun dia-diam menyebut ruang waktu tersebut sebagai WAM (Waktu Asep Mulyana). Aku pikir sampai saat ini hanya Asep yang tidak mengetahui apa itu WAM. Mengingat hampir seluruh tetangga yang pernah bercengkrama di pos ini mengetahui istilah tersebut dariku. 

Banyak orang yang keliru meilai Asep. Mereka yang tak tahu apa-apa biasanya gencar mengkampanyekan tentang sesuatu yang tidak jelas kebenarannya. Di sekolah terutama ataupun dilingkungan masyarakat luas yang memandang rendah dirinya. Banyak orang-orang diluar sana hanya menilai dari kulitnya. Tanpa melihat esensi lebih dalam dari dirinya. Sering kusampaikan kepadanya tentang orang-orang diluar yang membicarakannya. Ia tidak begitu mempermasalahkannya. Baginya apa yang diucapkan orang tentang dirinya itu hak-hak mereka. Karena setiap orang memiliki hak berpendapat. Ia juga menambahkan bahwa hidup ini terlalu rendah jika kita terus-menerus memikirkan apa yang orang ucapkan. Padahal kita sudah mengetahui bahwa kita bukan seperti yang dibicarakan orang lain. Baginya ucapan-ucapan itu adalah penyambung hidpunya. Karena aginya lebih berharga hidup dibawah hinaan dan cacian dibanding hidup dibawah puji-pujian. Karena hidup dibawah hinaan dan cacian lebih meningkatkan derajatnya suatu saat. Beda halnya saat kita hidup dibawah puji-pujian yang suatu saat pujian tersebut akan menjadi boomerang yang menyerang balik dirinya.

Aku kagum dengan pendiriannya. Tak banyak orang yang senantiasa seperti dirinya.

Tak terasa santap makannya pun sudah tinggal kenangan. Kini saatnya kami untuk pulang. Diperjalanan aku bertanya padanya.
“Ngerokok ko cuman malam doang, di pos ronda, gapernah gue liat ngerokok ditempat lain ?”
Dengan santai ia pun menjawab.
“Untuk menikmati ciptahan tuhan gak perlu banyak dan sering. Cukup sekali di tempat yang sama dengan teman yang sama”
Langkah kamipun berlanjut hingga gubug memisahkan.

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali