Wanita Yang Hidup Lebih Lama Dua Ratus Tahun

Aku mendengar dongeng ini dari pengunjung bar-ku. Dongeng ini ia ceritakan menjelang tengah malam. Saat pengunjung bar mulai lengang. Menjelang waktu operasional bar tutup. Ini satu-satunya cerita yang ia ketahui. Kisah tentang wanita yang hendak menjalankan ritualnya.

“Kau pernah masuk ke gedung yang ada di sebrang?’

Kalimat itulah yang menjadi awal dongeng yang ia ceritakan. Aku sedikit bekernyit. Aku tidak tahu arah pembicaraannya. Gedung itu adalah Kedutaan besar Jerman. Dan aku tidak memiliki kepentingan untuk masuk ke dalam sana.

“Belum." Jawabku sambil menuangkan anggur ke gelasnya.

“Ah, tentu saja kau belum pernah ke sana. Bahkan untuk sekedar keluar dari tempat ini pun kau ragu.” Ia menjawab sambil menenggak anggur yang aku sodorkan.

Aku belum mengerti arah pembicaraannya. “Untuk apa aku ke sana?”

Dia memajukan tubuhnya ke arahku dan berbisik, “akan aku ceritakan sebuah kisah. Yang terjadi di tempat asal orang-orang di dalam sana. Cerita yang aku dapatkan saat aku tinggal di sana”

* * *

Alkisah, terjadi bencana kelaparan di negeri antah berantah. Seorang wanita yang tak pernah tua ketakutan. Ini perihal bulan purnama yang akan segera tiba. Ia cemas, takut karena belum mempersiapkan ritualnya. Bulan purnama kali ini, tepat seratus tahun setelah ritual sebelumnya dilakukan.

Wanita itu belum menemukan tumbalnya. Bencana kelaparan membuat ia tidak bisa leluasa mencari tumbal. Semua orang tak banyak berkegiatan. Ladang-ladang kering tidak menghasilkan apapun. Sumber air hanya ada di dalam hutan.

“Bagaimanapun aku harus mendapatkannya. Aku harus kembali melakukan itu. Sebelum kerutan di wajahku semakin jelas.” Mata wanita itu berkilat. Napasnya tersengal. Jari-jemarinya perlahan merapat. Mengepal. Dengan tetap duduk, ia melihat dua anak suaminya yang tidur dikamar. Anak yang sebetulnya tidak berharga baginya. Bahkan menjadi belenggu di saat krisis seperti ini.

Wanita itu tetap duduk. Memikirkan apa yang harus ia lakukan. Kekuatannya akan segera berakhir. Ia harus menemukan tumbal secepatnya. Membawanya ke hutan. Ke sebuah rumah, yang hanya ada pada malam saat bulan purnama itu muncul.

Seketika ia memiliki ide. Dilihatnya kedua anak disampingnya. Ia sadar bahwa ia tidak memiliki hubungan darah dengan mereka. Mereka tidak lahir dari rahimnya. Anak itu sudah ada sejak pertama ia bertemu dengan suaminya.

“Besok aku harus menggiringnya ke hutan. Membiarkan tersesat didalamnya.” Muka wanita itu sontak riang. Garis wajahnya terbuka. Senyum terlihat dari bibirnya. Senyum sinis, yang penuh dengan teka-teki.

* * *

Aku masih duduk. Laki-laki pendongeng itu terus bercerita. Ia menenggak anggur di botol kedua. Aku tak banyak bicara hanya sesekali saja menanggapi ceritanya.

“Dimana kau mendapat dongeng ini?”

“Marburg. Sebuah kota kecil di utara Frankfurt. Aku sempat beberapa tahun  tinggal di sana. Belajar hukum. Sebelum akhirnya pindah ke Kassel.”

“Rasanya aku pernah mendengar dongeng ini. Seorang wanita. Bencana kelaparan. Tapi, entah lah. Aku mungkin lupa.”

“Dongeng ini sudah menyebar ke seluruh dunia. Cerita yang tersebar kental aroma imajinasi, itu bukan versi asli. Dongeng yang sedang aku ceritakan adalah kejadian nyata. Jadi, dengarlah baik-baik.”

* * *

Wanita itu kini sudah bersiap dengan rencananya. Malam nanti adalah malam dimana bulan purnama sempurna akan muncul. Ia yakin rencananya akan berhasil.

Pertama ia menyuruh suaminya untuk pergi mencari persediaan makanan. Meskipun sempat ditolak, dengan alasan persediaan makanan masih bisa untuk beberapa hari kedepan. Tapi ia berhasil meyakinkan bahwa keluarganya harus menambah persediaan yang ada.

Menjelang siang ia memanggil kedua anaknya. Ia menyuruh keduanya pergi ke hutan. Mencari sumber air. Ia tidak begitu sulit mengarang cerita untuk hal ini. Memang benar persediaan air sudah menipis. Kedua anak tersebut, bocah kecil dan gadis kecil, beranjak pergi. membawa dua wadah yang khusus tempat penyimpanan air.

Matahari begitu terik. Sinarnya menghujam kepala mereka. Perjalanan cukup jauh. Sebelum ia benar-benar masuk ke hutan yang banyak ditumbuhi pepohonan tinggi, mereka sempat istirahat. Panas yang begitu terik sungguh menguras energi keduanya.

Mata air ditempat biasa sudah mengering. Terpaksa harus mencari mata air lainnya. Jaraknya cukup jauh. Masuk lebih kedalam. Semakin dalam. Semakin gelap.

Keduanya terus berjalan. Mencari sumber mata air. Semakin dalam. Semakin jauh. Pepohonan mulai rimbun. Tumbuhan merambat hingga menutupi cahaya matahari. Berbeda kondisinya ditempat mereka tinggal. Begitu gersang. Kering. Panas.

Mereka tak tahu sudah berapa lama berada di dalam hutan. Rasanya sudah berjam-jam merek berjalan didalamnya. Tanpa makan. Tanpa minum. Tanpa menemukan tujuannya.

“Aku lapar. Haus.” Kata sang gadis kecil

“Aku tak membawa perbekalan, tunggu sebentar lagi. Setelah mendapatkan air kita langsung pulang.”

“Apa kita tidak sebaiknya pulang sekarang?”

“Kita belum mendapatkan air itu. Ibu bisa menyiksa kita kalau pulang tidak membawa air.”

“Tapi aku lapar. Haus.”

Hari mulai malam. Cahaya matahari sudah tidak bisa masuk di celah-celah tumbuhan yang rimbun. Sinar bulan tidak cukup untuk menerangi jalan mereka.

Keduanya sudah tidak kuat melanjutkan perjalanan. Mereka sudah tidak memiliki tenaga. Ditengah rasa capek itu, mereka menemukan sebuah pondok. Mereka beristirahat. Tanpa sadar mereka terlelap didalamnya.

* * *

Wanita itu tengah mempersiapkan ritualnya. Hanya dua yang perlu ia siapkan. Dirinya dan merica. Selang beberapa jam setelah kedua anaknya pergi ia turut mengikuti dari belakang. Semakin dekat dengan hutan. Semakin bersemangat.

“Aku akan hidup seratus tahun lagi,” teriaknya sambil tertawa saat memasuki gerbang hutan, “aku akan hidup selamanya.”

Ia sudah mengetahui hutan ini. Hutan ini bukan hutan biasa. Ada dua lapis di dalamnya. Salah satunya adalah lokasi tempat ia akan menjalankan ritualnya.

Ia sudah melihat kedua anak tersebut. Berjalan mencari air dari satu sumber ke sumber lainnya. Ia hanya terkekeh memperhatikan mereka. Bagaimana pun mereka sudah bukan berada di hutan biasa. Sejak mereka berhenti istirahat beberapa saat lalu. Disebuah jalan yang berkelok. Disebuah pohon besar yang rantingnya menjalar sampai puluhan meter. Diperbatasan antara hutan biasa dan hutan ritual. Sejak saat itu, wanita itu memulai ritualnya.

Cahaya matahari sudah tidak bisa tembus. Bukan karena rapatnya pepohonan yang ada. Melainkan hutan ini memang tidak memiliki matahari. Jubah hitam menyelimuti hutan ini. Bulan purnama sebentar lagi nampak. Bulan purnama yang hadir seratus tahun sekali, bulan purnama yang akan menentukan kehidupan wanita itu.

* * *

Hansel and Gretel!” seruku memecah ceritanya.

“Ssssttt. Jangan keras-keras,” sambil menempatkan telunjuk pada bibirnya. “Aku akan ceritakan cerita yang sebenarnya. Rahasia yang tersembunyi dari kisah tersebut. Bukan seperti yang beredar selama ini.”

“Aku sudah tahu akhir ceritanya,” aku memotongnya saat hendak berbicara kembali, “wanita itu mati saat hendak memasak kedua anaknya, cerita ini sudah melanglangbuana ke seantero dunia. Dan kau ceritakan dongeng ini kepada ku sekarang.” Aku menegakkan kepala, bangga karena sudah mengetahui akhir dari dongeng tersebut. Laki-laki di depanku hanya tersenyum. Sinis. Seringainya terlihat merendahkan.

“Sudah kukatakan. Dongeng yang aku ceritakan ini bukan sembarang dongeng. Dongeng ini adalah kejadian yang sebenarnya terjadi. Saat kedua anak tersebut terlelap tidur. Wanita itu datang menghampirinya. Dengan raut wajah senang. Mata yang berkilat. Dan senyum yang menakutkan. Ia menaburkan merica yang di bawa, ke seluruh tubuh mereka. Sampai habis tak tersisa. Kedua anak tersebut tetap tidur. Wanita itu membawanya kedalam pondok. Yang begitu panas. Yang akan membakar kedua anak tersebut.”

“Tidak mungkin, bukan begitu ceritanya.” Aku protes

“Memang begitulah kejadian yang sebenarnya. Aku mendengarnya secara langsung. Pada suatu malam, di pusat kota Marburg, tahun 2012. Tepat 200 tahun setelah kejadian tersebut terjadi,“ ia mendekatiku dan berbisik, “karena wanita tersebut yang menceritakannya kepadaku secara langsung. Dua anak tumbal. Dan dua ratus tahun ia bisa hidup lebih lama. Dan pada malam itu, di sebuah kamar, setelah menceritakan semuanya kepadaku, ia mati. Di bawah bulan purnama yang sempurna.”



PDL, 27 Maret 2020

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali