Kebebasan dan Belenggu

Dokumentasi Pribadi

Kebebasan merupakan salah satu fitrah manusia. Manusia dengan kehendaknya sendiri bisa menentukan apa yang menurutnya baik, buruk, benar, salah. Manusia dengan kehendaknya sendiri bisa memutuskan apakah ia akan melakukan atau berdiam diri.

Kebebasan yang diperoleh manusia tidak serta merta bisa kita terapkan dalam kehidupan, banyak hambatan, rintangan, belenggu yang membatasinya. Baik yang timbul dari dalam diri maupun yang berasal dari luar. Disitulah titik dimana kebebasan menjadi kontraproduktif dalam pelaksanaannya.

Seperti yang dikisahkan Okky Madasari dalam novelnya, Pasung Jiwa. Kebebasan menjadi titik awal bagaimana kisah Sasana dan Jaka Wani dalam novel. Dua orang tersebut merupakan tokoh utama dalam perdebatan antara kebebasan dan belenggu yang mengkerangkengnya.

Sasana yang merupakan anak dari Dokter dan Pengacara sejak kecil merasa dirinya berada pada kondisi yang mematikan. Kondisi dimana dirinya tidak sepenuhnya merasa sebagai Sasana itu sendiri. Sasana sebagai anak yang tumbuh dengan piano diusik dengan jenis musik baru yang baru ia kenal dan memabukan dirinya. Musik yang bisa menggerakan seluruh bagian tubuhnya. Musik yang menjelma menjadi jalan hidupnya kelak.

Kebebasannya mulai ia temukan saat nongkrong di warung kopi milik Cak Man. Di sebuah perkampunhan di Malang, kota tempat Sasana untuk berkuliah. Tapi bukan kuliah sebagaimana layaknya di kelas. Justru di warung itulah ia dapatkan 'kuliah' yang sebenarnya bersama Cak Jek dan pengunjung warung lainnya.

Dua orang tersebut dikemudian hari menjelma menjadi sosok yang mendambakan kebebasan. Kebebasan dari masa lalu. Kebebasan dari masa kini. Dan kebebasan untuk menentukan masa depan. Sempat terpisah sejak disiksa di Koramil. Mereka menjelma menjadi pribadi yang bertolak belakang.

Sasa menjelma menjadi artis papan atas dengan Goyang Gandrungnya. Dan Cak Jek menjelma menjadi pemimpin Laskar yang membela agama dan negara. Sasa pergi dari satu panggung ke panggung lainnya untuk bernyanyi. Cak Jek pun pergi dari satu panggung ke panggung lainnya untuk menegakkan agama dan negara sesuai orderan.

Kebebasan menjadi amat sangat perih bagi keduanya. Bagaimana Sasa harus menerima penyiksaan dari orang yang dulu ikut melahirkan sosok Sasa seperti ini. Dan Cak Jek pun disiksa pikiran pikiran dari orang-orang yang pernah hadir dihidupnya dan dibiarkannya menderita. Bahkan kini ia menjelma menjadi binatang seperti yang Ibunya katakan dalam suatu mimpi.

Kini keduanya dihadapkan pada suatu kondisi dimana kebebasan yang selama ini diharapkan menjadi sebuah malapetaka. Gerbang menuju penindasan satu sama lain. Lantas bagaimana mereka menemukan kebebasan yang haqiqi? 

Disaat kebencian ditunjukan oleh keduanya. Justru disitulah mereka menemukan kebahagiaan karena bisa kembali. Kembali kejalanan, seperti pertama kali saat mereka menempuh jalan 'profesional'. Kebebasan temporer yang hanya mengulang kejadian di masa lampau sebelum belenggu-belenggu lain menghadang di depan.

Membaca ini anda akan dibuat berfikir atas cuplikan kisah yang ada dan kejadian di dunia nyata. Membaca ini anda akan dibuat tegang dengan ketimpangan dan akibat yang ditimbulkannya. Membaca ini anda akan memiliki perspektif baru tentang hubungan kuasa. Dan membaca ini anda akan melihat seperti apa manusia akan memanusiakan manusia lainnya.

Seperti  biasa  disclaimer diakhir. Jika anda mengharapkan sebuah ulasan yang sesuai kaidah penulisan resensi menurut pelajaran Bahasa Indonesia maupun kaidah yang ditemukan di gugel. Maka, ini tempat yang salah bagi anda. Silahkan mengunjungi tulisan yang baik dan benar. Karena ini hanya terlihat seperti Sampah Digital. Sekian. Terimakasih.




PDL, 11 Maret 2020

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali