Ihwal Covid-19 (3) : Kereta

Biasanya setiap pagi aku sudah bersiap menuju kampus. Menggendong tas, memakai jaket, jenas lusuh, sepatu kets yang sudah berlubang di dekat kelingking kanan. Selepas subuh aku berjalan kaki menuju stasiun. Jarak antara rumah dan stasiun tidak mencapai satu kilometer. Dan itu bisa dijangkau hanya dengan berjalan kaki.

Kereta pertama berangkat pukul 05.25 dan aku sudah harus sampai disana maksimal sepuluh menit sebelum keberangkatan kereta. Kereta sudah bersiap disana, setelah membeli karcis seharga lima ribu rupiah, menscan kepada petugas, aku langsung masuk kereta dan mencari tempat yang kosong.

Setiap baris terdapat lima titik penumpang yang terbagi atas 3 kursi dan 2 kursi. Kereta dipagi hari ini dipenuhi oleh para pelaar, pegawai, dan para pedagang. Diantara semua penumpang para pedagang menjadi yang lumayan menarik perhatian.

Selain karena dagangan yang ia bawa, yang kadang dimensinya berlebihan. Ia pun sesekali bermain petak umpet dengan petugas kereta. Di kereta tidak diperbolehkan berjualan. Dan jika tertangkap berjualan ia akan diturunkan di stasiun terdekat. Tapi aku yakin para pedagang tersebut memang tidak ingin berjualan di dalam kereta. Tujuan mereka yang du pasar-pasar atau tempat-tempat yang nanti akan mereka turuni. Kereta hanya menjadi alat mobilitas kegiatan mereka, seperti halnya saya yang menjadikan kereta sebagai alat mobilitas untuk ke kempus.

Mereka pun selama di kereta tidak menjajakan dagangannya. Justru para penumpang lain yang sengaja ingin membelinya. Kereta pertama memang cukup pagi jadwal keberangkatannya. Maka, logis jika ada beberapa penumpang yang belum sarapan di rumah dan memilih sarapan dikereta atau pun membelinya di perjalanan saat menuju tempatnya bekerja. 

Aku pun pernah membeli sarapan dari pedagang tersebut dikereta. Membeli makanan yang di kenal sebagai awug. Sebuah makanan yang terbuat dari tepung dicampur kelapa dan gula merah, yang disajikan seperti tumpeng berbentuk kerucut menjulang keatas.  Masih hangat, manis, dan cocok rasanya dijadikan teman sarapan dipagi hari yang dingin.

Rute perjalanan kereta dari titik awal menuju titik akhir ini sekitar dua jam perjalanan. Melalui beberapa stasiun untuk naik turun penumpang. Diantara semua stasiun yang menjadi perhentian. Ada tiga titik stasiun utama, ayitu stasiun tempat dimana aku biasa naik, tempat biasa au turun, dan tempat dimana kereta ini mengakhiri perjalanan. Pun demikian dengan rute sebaliknya.

Stasiun A, Stasiun B dan Stasiun C, sebutlah tiga titik utama stasiun tersebut demikian. Stasiun A dan C merupakan stasiun awal-akhir dari kereta. Kereta ini melakuakn perjalanan bulak balik dari dan menuju stasiun tersebut. Dan stasiun B adalah stasiun yang berada di tiik pusat kota. Dimana kegiatan utama perekonomian dimulai. Tempat-tempat seperti pasar, mall, pabrik kantor akan dimulai saat orang-orang akan melakukan kegiatan ditempat-tempat tersebut.

Aku pun menjadi bagian diantara mereka. Berjejal, berdesak-desakan. Di stasiun awal tempat aku naik saja sudah cukup padat. Kursi-kursi mulai terisi walaupun masih ada beberap ayang kosong. Semakin kedepan kereta ini berjalan dan melewati perhantian pasti akan ada penumpang yang naik dan turun. Dan yang naik akan lebih banyak dibanding yang turun saat kereta berangkat dari stasiun A menuju stasiun B. Dan penumpang hampir kebanyakan turun di stasiun B. Pun ketika kereta yang berangkat dari stasiun C, penumpangnya akan kebanyakan turun di stasiun B. Semuanya bersatu di tempat itu, dan akan menimbulkan ‘kericuhan’ sesaat.

Momen-momen seperti itu yang rasanya kini aku rindukan. Bercengkrama dengan sesama penumpang dikereta yang nyaman pada awalnya, dan mulai tidak nyaman akibat penumpang yang semakin menjejali kereta. Wajah-wajah yang beragam ekspresi. Ada yang bersemangat memulai harinya. Ada yang lesu, terlihat masih menahan kantuk. ada yang gelisah, raut mukanya penuh kebimbangan. Semua itu akan tergambar dari para penumpang kereta tersebut. 

Kini aku sudah jarang bepergian menggunakan kereta. Kondisi pandemi Covid-19 menjadi salah satu penyebabnya. Berita-berita di media sosial maupun media mainstream lainnya memperlihatkan bagaimana mobilitas masyarakat kini berkurang. Termasuk para pengguna kereta yang biasa aku naiki.

Di setiap baris kursi yang bisa untuk lima orang kini sudah diberi jarak. Berdesak-desakan di dalam kereta sudah tidak ada. Para pegadang yang bermain petak umpet sudah tidak ada. ‘kericuhan’ disaat penumpang turun di stasiun B. Semuanya kini sudah hilang. Entah sampai kapan hal tersebut akan terus terjadi.

Namun, itulah hal terbaik yang saat ini bisa kita lakukan. Menjaga penyebaran dengan mengurangi mobilitas masyarakat. Sehingga #DirrumahAja menjadi kampanye yang saat ini digalakan oleh sesama masyarakat. Mengingatkan sesamanya untuk ikut berkontribusi terhadap penghentian laju penyebaran virus. 
Aku rindu seperti dulu. Naik kereta api tut-tut tut. Semoga kondisi lekas kembali dan tumbuh dalam jalan yang lebih positif dari sebelumnya.



PDL, 30 Maret 2020

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali