(Bijak)sana dalam Men(cinta)i

Sumber Gambar: Lapar Institute
Manusia memiliki suatu ciri khas yang membedakannya dengan mahkluk lain. Ia memiliki kemampuan untuk memaksimalkan rasio yang dimilikinya dalam menjalani kehidupan, berpikir. Dengan berpikir seyogianya manusia bisa menembus segala sekat-sekat dalam hidup, yang menghambat manusia untuk mengekspresikan sesuatu. Lantas timbul pertanyaan, apakah pikiran yang dihasilkan akan senantiasa memperlancar kehidupan manusia? Atau ia malah membelenggu manusia, membatasi ruang geraknya. Alih-alih membantu ia malah jadi benalu, bukannya menjadi solusi malah jadi polusi.

Salah satu ekpresi dari manusia adalah ungkapan cinta. Dalam suatu posisi manusia pasti memiliki satu kereteg hate terhadap sesuatu, baik terhadap hal materiel maupun imateriel, terhadap sesama manusia maupun terhadap Tuhan. Kereteg hate tersebut merupakan suatu refleksi imateriel yang dialami manusia. Namun, tidak semata-mata ia muncul sebagai perasaan, tentunya ada hal yang menjadi sebab yang membangkitkan kereteg hate tersebut.

Problemnya adalah tatkala manusia tidak bisa mengendalikan kereteg hate dalam realitas kehidupan. Realitas kehidupan merupakan suatu hal yang hierarkis, bertingkat. Bahkan dalam Islam saat Rosulullah Muhammad Saw. melakukan Isra’ Mi’raj realitas diilustrasikan menjadi suatu hal yang bertingkat-tingkat hingga mencapai SinggasanaNya. Manusia terkadang luput untuk menyadari bahwa realitas mana yang menjadi objek kereteg hate tersebut.

Jika cinta terhadap manusia tergambar melalui panca indera, maka cinta illahiyah tidak dapat diupayakan langsung melalui panca indera manusia. Karena pada hakikatnya, panca indera merupakan suatu instrumen untuk memotret segala realitas yang ada di dalam dunia manusia. Sedangkan, ketika kita berbicara cinta illahiyah maka kita telah menyebrang terhadap suatu objek yang berada di luar realitas manusia. Untuk memandang hal tersebut kita tidak bisa sekoyong-koyong menggunakan realitas dunia manusia saat ini, karena yang terimajinasi pasti seauatu yang ada dalam realitasnya.

Dalam suatu sesi diskusi filsafat Bang Al (Alfathri Adlin) pernah mengilustrasikan bagaimana Alien sebagai suatu entitas diluar realitas manusia digambarkan oleh manusia sebagai kombinasi dari hewan-hewan yang ada dalam benak manusia. Bagian satu dengan yang lain merupakan hasil comot-an dari hewan yang ada dibumi untuk menggambarkan sosok Alien tersebut. Disini, walaupun manusia berhasil mewujudkan sosok Alien tersebut ke dalam suatu bentuk mahkluk, namun pada dasarnya mahkluk tersebut berasal dari realitas manusia sebelumnya, tidak pernah mengambil suatu imajinasi diluar realitas yang ada.

Hal tersebut bukan berarti kita mengesampingkan realitas materiel yang selama ini hadir. Hal materiel tetap menjadi salah satu kontributor bagi manusia dalam menggapai cinta illahiyah. Penekanannya adalah bahwa saat hendak menggapai cintai illahiyah kita tidak mempersepsikan Tuhan dalam realitas manusia.

Walaupun dalam menggapai cinta illahiyah kita pun harus terlebih dahulu menggapai cinta Rosulullah Muhammad Saw. dan itu merupakan cinta materiel, akan tetapi itu tidak menjadikan realitas materiel bisa dipersepsikan sama ketika kita sedang berusaha menggapai cinta illahiyah. Dengan itu lah kita harus bijak dalam cinta, harus bijaksana dalam mencintai. Dan jangan lupa untuk berfilsafat agar meraih cinta kebijaksanaan. Wallahu’alam.



Catatan:
Tulisan ini merupakan refleksi dari pertemuan kedua Sekolah Filsafat yang diselenggarakan oleh Lapar Institute pada Kamis, 25 Oktober 2018.

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali