Cinta: Materiel dan Imateriel

Sumber Gambar: Lapar Institute
Tugasmu bukanlah mencari cinta, melainkan mencari dan menemukan segala penghalang di dirimu yang telah kamu bangun untuk melawan cinta. ~Maulana Jalaluddin Rumi
Manusia pada hakikatnya hadir dalam kondisi fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan dan cenderung memiliki preferensi terhadap suatu kebenaran. Tujuan manusia hidup seyogianya ialah kebenaran mutlak milik Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa,  Allah Subhanahuwata’ala. Untuk mencapai kebenaran tersebut diperlukan penghayatan cinta kasih terhadap Sang Pencipta. Dengan begitu, kita akan memahami hakikat kebenaran yang diturunkan melalui firmanNya melalui Rosulullah Muhammad Saw.

Rosulullah Muhammad Saw. merupakan abdullah, hamba Allah yang secara fisikal memiliki kesamaan dengan manusia lainnya. Namun, Allah Swt. memberikan anugerah kepadanya untuk mengemban risalah kerosulan. Muhammad merupakan sosok yang memperkenalkan kita kepada Sang Penguasa Alam Semesta, Allah Swt. sebagai sumber dari segala sebab yang terjadi, menjadi prima causa, sebab awal yang menyebabkan semua sebab hadir di alam semesta.

Mencintai Allah Swt. tidak akan pernah terjadi ketika kita tidak mencintai sosok yang mengantarkan kita untuk mengenalNya. Sehingga, tidak akan mungkin terjadi seseorang mengaku telah mencapai cinta yang hakiki kepada Allah Swt. namun tidak mencintai Rosulullah Muhammad Saw.

Pengetahuan manusia terhadap ‘sosok’ Allah Swt. tidak akan pernah hadir tanpa adanya Muhammad sebagai pembawa risalahnya. Kecintaan kepada sosok Muhammad sebagai manusia yang notebene  merupakan bentuk materiel menjadi gerbang bagi kita untuk menggapai cinta imateriel terhadap Allah Swt. Dengan demikian, mencintai Allah Swt. akan tercapai saat kita sudah mencapai kecintaan terhadap Muhammad Saw. sebagai pembawa berita tentang adanya Tuhan, Allah Swt.

Lantas, timbul suatu pertanyaan, bagaimana menggapai kecintaan tersebut?

Ada yang menyebutkan dengan mempelajarinya, karena cinta bisa dipelajari sebagaimana ilmu pengetahuan lainnya. Ada juga yang menyebutkan bahwa cinta itu seperti ilham seseorang tak perlu mencarinya, tak perlu mempelajarinya, api suatu saat diwaktu yang tepat akan muncul begitu saja sebagai cinta. Ada pula yang menyebutkan cinta akan hadir dari akumulasi kegiatan hidup manusia sendiri.

Kegiatan setiap manusia tidak sama satu sama lain. Kegiatan manusia terakumulasi menjadi suatu pengalaman hidup. Pun begitu ketika menemukan kecintaan. Manusia A bisa menemukan cinta dengan metode A, manusia B bisa menemukan cinta dengan metode B, manusia C bisa menemukan cinta dengan metode C, namun manusia D bisa saja menemukan cinta dengan kombinasi antara A dann B, A dan C, A dan D, B dan C, B dan D, C dan D, atau bahkan akumulasi dari metode A,B,C dan D.  Jadi, pengalaman cinta apa yang mengantarkan manusia kepada kecintaan yang hakiki?



Catatan:
Tulisan ini merupakan hasil refleksi dari pertemuan pertama Sekolah Filsafat yang diselenggarakan oleh Lapar Institute pada Senin, 22 Oktober 2018. Sekolah Filsafat tersebut mengambil tema"Filsafat Cinta: Sebuah Usaha meluluhlantahkan Banalisasi Makna Cinta" dan diampu oleh Alfathri Adlin.

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali