Darwis "Si Gila" dan Kisah Senja 47 Detik

Dokumentasi Pribadi

Pukul 2.14 dini hari. Tepat kedua kalinya aku menulis tulisan ini. Setelah sebelumnya sempat menulis dan hilang begitu saja. Tulisan yang akan kalian baca ini tentunya berbeda dari versi pertama yang aku tulis pada 1.57 tadi, dan aku pun lupa bagaimana tulisan tersebut. Kesal betul memang saat mengetahui hal itu terjadi.

Setelah kisah yang cukup membuat kesal. Kini kejadian ini membuatku tambah kesal. Baiklah, akan kucoba ulang tulisan yang sebelumnya pernah kuketik. Semoga saja feel-nya masih ada.

Dini hari tersebut, aku baru saja menyelesaikan bacaan akan sebuah buku. Buku yang berisi 426 halaman ini mengisahkan cinta dan benci. Kisah kepergian dan kedatangan. Kisah edukatif. Namun, juga pembodohan yang cukup kentara, apabila kita lebih cermat dalam membacanya dan menjauhi perasaan untuk ikut kedalam kisahnya. Karena ketika kita terbuai dalam kisahnya, kita seolah sedang ada bersama mereka. Sedang melakukan kebiasaan mereka. Sedang memandang senja di pinggir pantai, cadas maupun pesawat yang bisa mendarat di air. 

Aku tak tahu bagaimana melukiskan perasaan sebagai pembaca, setelah sesaat selesai membacanya. Penulis kisah ini "Gila" bukan main. Entah karena memang imajinasinya yang kuat, anugerah bakat menulis yang hebat, atau kah pembacanya sendiri yang terlalu baper-an. Padahal ini hanya sebuah kisah. Dan tentunya fiktif sebagai sebuah karya fiksi. Tapi aku seolah dibutakan akan hal itu.

Aku terbang kedalam kisah-kisah mereka. Aku mengalami peristiwa bom tersebut. Aku mengalami bagaimana rasanya kehilangan. Aku merasakan debur ombak dilautan. Aku pun menikmati cahaya senja selama enpat puluh tujuh detik tersebut.

Andai kisah itu terjadi di dunia nyata. Maka laki-laki mana yang bisa menyaingi kepayahan Tegar. Tegar Karang yang tak sekuat karang di pedalaman laut. Tapi perempuan mana juga yang bisa menyaingi kebodohan antara Rosie dan Sekar. Dan anak seperti apa yang bisa menyamai simpati Jasmine atau bisa menyamai tingkat observasi Anggrek atau bisa menyaingi permainan biola Sakura maupun pipi chubby milik Lili.

Darwis memang "Si Gila" dalam menceritakannya. Ia berhasil memasarkan kisah kepada para pembaca. Apalagi kalau pembaca tersebut baper-an sepertiku. Maka, ambyar-lah sudah ketika membacanya. Kesal, senang, sedih dan getir bergantian menghiasi perasaanku saat membacanya. Jika kita kategorikan lebay/alay mungkin aku termasuk kedalamnya. 

Tapi itulah yang aku rasakan setelah membaca buku ini. Mungkin ada pula yang berbeda denganku. Tapi akupun yakin bahwa ada yang mirip dengan apa yang aku rasakan. Dan jika aku bisa mengubah secara serampangan kisah tersebut. Aku akan menjadi penulis yang lebih gila dari "Si Gila" dengan membiarkan Ia menikahi kedua Perempuan tersebut, Sekar dan Rosie. Dan menjadi ayah dari keempat anak Rosie dan Nathan, dan juga ayah dari anak Ia dan Sekar (kalau Sekar hamil dan melahirkan) dan barangkali ia pun menjadi Ayah dari anak Ia dan Rosie (kalau Rosie hamil lagi dan melahirkan). Dengan begitu keluarga akan bertambah besar, Gili Trawangan akan bertambah populasinya. Setiap perayaan di resor akan semakin meriah. 

Ya begitulah keadaannya. Ini bukan resensi. Karena menurut kaidah resensi daam pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah maupun unsur resensi buku yang didapat dari gugel, tulisan ini tidak memenuhi unsur-unsur resensi. Tapi cukuplah bagiku untuk meninggalkan jejak digital atas apa yang telah aku rasakan setelah membacanya.

Terima kasih. Semoga dapat berjumpa dengan karya-karya yang lain. Dan aku akan lebih menjaga jarak agar tidak terbawa kisahnya sebagai pembaca dengan kategori baper-an/alay/lebay.




PDL, 9 Februari 2020

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali