Lupa Melihat Sekitar

Siang itu aku sengaja pergi ke kampus. Hanya mengisi waktu luang saja. Karena sudah beberapa waktu tidak menyambanginya. Mengingat belum ada urusan penting yang harus ku kerjakan dikampus. Karena gabut akhitnya aku kekampus juga.

Aku duduk di tempat yang orang-orang bilang Taman Wifi. Meskipun bentukannya tidak sepetti taman pada umumnya. Hanya tersedia meja panjang beserta kursi. Dengan kantin disekelilingnya. Disebut taman wifi karena disitu terdapat wifi, walaupun di tiap gedung pun ada, dan dekat dengan warnet gratis kampus.

Tidak banyak agenda yang akan aku lakukan. Hanya membaca buku dan makan siang menjelang sore yang aku bawa dari rumah.

Selagi aku membaca aku melihat dikejauhan, diatas jalan, yang terlihat dari tempatku duduk ada seorang bapak memperhatikan terus ke arah tempat ini. Juga seorang ibu, yang nampaknya mereka berdua suami-istri. Aku penasaran apa yang mereka perhatikan.

Lantas dibarisan bangku sebrang ada seorang anak yang sedang menjajakan dagangan. Kulihat ia berjualan kerupuk, seperti kerupuk yang ada ditempat nasi goreng, yang sudah dibungkus. Satu bungkus dihargai lima ribu rupiah.

Terlihat ada beberapa orang yang duduk disitu ditawari. Kebanyakan tidak membelinya. Hanya ada satu orang yang membelinya. Akupun tidak membelinya. Setelah semua orang yang ada disitu ditawari anak tersebut kembali menaiki tangga menuju jalan. Lantas kedua orang, bapak-ibu, yang sejak tadi memperhatikan berjalan mengampiri si anak. Anak tadi pun menyerahkan uang yang tadi ia dapat dari hasil menjual krupuk kepada si bapak.

Dugaanku tentang apakah kedua orang itu orang tua dari si anak. Aku belum tahu. Tapi besar kemungkinan hal tersebut benar. Aku tak habis pikir mengapa ayah dan ibu tersebut memperlakukan anak nya seperti itu.

Setelah kejadian tersebut aku melanjutkan membaca sampai akhir buku selesai. Setelah selesai membaca, aku mengingat kembali kejadian tadi. Merenung apa yang salah dengan adanya kultur seperti itu. Aku yakin bahwa praktik seperti itu tidak hanya terjadi saat itu saja. Di berbagai tempat pun ada kasus dimana anak dijadikan mesin uang, entah oleh orang tuanya maupun pihak lain yang ditakutinya.

Apakah benar ini semua terjadi karena orang tua yang salah. Tapi bukankah ada kewajiban otoritas dalam hal ini negara untuk menjamin kehidupan warganya. Termasuk dalam hal memperoleh kesempatan bekerja. Bisa jadi bapak dan jbu tersebut melakukan hal itu karena mereka tidak memiliki akses atas kesempatan kerja. Dan dengan menyuruh anaknya, diharapkan orang-orang mau membeli dagangannya dengan empati yang tinggi.

Tapi apakah hanya negara yang harus berkontribusi atas hal itu. Pihak yang sangat dekat dengan fenomena itu adalah sesama warga sendiri, aku, para pengunjung taman wifi, orang-orang lain yang ada disekitarnya pun harusnya lebih aware akan hal ini. Akupun baru menyadarinya setelah semua terjadi. 

Jikalau sesama manusia saling memuliakan maka fenomena tersebut nampaknya tidak akan terjadi. Berdoyong-doyong membantu manusia lain dibelahan bumi lain. Tapi disekitar kita saja masih banyak yang perlu mendapat perhatian. Namun kita luput, bukan saja untuk memberi, tapi untuk melihatnya pun kita luput.



PDL, 26 Februari 2020

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali