Ngomongin Tuhan Tanpa Ketegangan

Dokumentasi Pribadi

Kali ini aku baru selesai membaca sebuah buku yang ditulis oleh dua orang, yakni Sujiwo Tejo dan M. Nursamad Kamba. Judul bukunya cukup 'provokatif': Tuhan Maha Asyik. Ada orang yang mengatakan "Tidak ada asyik dalam 99 nama Tuhan!!!" Ya boleh-boleh saja. Toh, Tuhan pun masih asyik, Ia tidak perlu mendapat 'pembelaan' dari mahkluk-Nya.

Disini Tuhan dibicarakan seasyik mungkin, tanpa ketegangan. Tuhan disampaikan melalui kisah-kisah Buchori, Samin, Pangestu, Parwati, Christine, Dharma, Bu Guru, Pak Guru, Orang tua masing-masing, penjual bakso, dan tokoh lainnya. Mereka membicarakan Tuhan seasyik mereka bermain.

Setiap kisah memiliki padanan maksud dan tujuan yang ingin disampaikan. Kisah tersebut menjadi analogi bagaimana pesan inti yang ingin disampaikan. Bukan saja melulu soal doktrin tentang agama. Tapi melebihi itu, melintasi paradigma berpikir yang kebanyakan orang 'beragama' anut.

Kisah "Wayang 1", misalnya. Berbicara tentang manusia yang hanya mengisi skenario saklek dari Tuhan, itu menurut kelompok Buchori, Pangestu. Atau semua manusia bisa melakukan kehendaknya sendiri, selama alur ceritanya masih sesuai garis besar skenario Tuhan, itu menurut Parwati.

Kisah lain misalnya seputar bahasa. Bagaimana bahasa memainkan peran dalam menyibak persoalan-persoalan yang terjadi. Bahasa sebagai medium komunikasi yang dibangun manusia pada dasarnya tidak akan pernah menyamai aktualisasi jaman yang sedang berlangsung.

Bahasa yang beredar saat ini tdak sepenuhnya bisa menggambarkan apa maksud yang sebenarnya. Sehingga, kadang orang-orang sibuk berkutat pada persoalan perspektif bahasa yang berbeda dibandingkan untuk menyelami maksud inti dari hal yang dituju.

Membicarakan Tuhan tidak selalu harus dalam suasana serius, monoton, apalagi sambil teriak-teriak. Itu tidak mencerminkan nilai ketuhanan. Tuhan bahkan bisa dinikmati, dihayati, dipelajari, dipikirkan kembali dengan cara-cara yang asyik, dengan tempo yang sesingkat-singkatnya.

Atas nama alam semesta. Aku menuliskan ulasan ini. Sebagaimana apa yang aku pikirkan saat menuliskannya. Disebuah hamparan karpet yang biasa digunakan sebagai alas dalam menyembah Tuhan. Disebuah ruangan yang disekelilingnya penuh dengan lubang. Dengan kolam didepannya dengan sebuah bola bertuliskan lafadz.

Seperti  biasa  disclaimer diakhir. Jika anda mengharapkan sebuah ulasan yang sesuai kaidah penulisan resensi menurut pelajaran Bahasa Indonesia maupun kaidah yang ditemukan di gugel. Maka, ini tempat yang salah bagi anda. Silahkan mengunjungi tulisan yang baik dan benar. Karena ini hanya terlihat seperti Sampah Digital. Sekian. Terimakasih.



KBP. 27 Februari 2020

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali