Agama Sebagai Kekuatan Pembebas

Agama hadir seyogianya menjadi kekuatan yang membebaskan pemeluknya dari penindasan. Agama menjadi wasilah untuk memerdekakan manusia. Penindasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok elit, sebagian besar terjadi akibat situasi kemapanan sosial-ekonomi-politik-budaya di suatu tempat. Kemapanan tersebut menjadikan kelompok elit penindas menjadi ‘tuhan-tuhan kecil’ di muka bumi. Keberadaaanya menjadi penghambat kemerdekaan manusia.

Pada dasarnya agama lahir sebagai sutu bentuk pembebas dari kondisi yang ada. Yahudi pada jaman Nabi Musa As misalnya, menjadi pembebas rakyat dari kekuasaan tiran Fir’aun. Pun begitu yang terjadi dalam islam. Kondisi masyarakat arab -khususnya mekkah- yang penuh praktik penindasan yang dilakukan suku Quraisy terhadap kaum miskin, menjadikan Islam yang dihadirkan Muhammad sebagai pembebas. Muhammad datang dengan membawa suatu ajaran yang mengusik kemapanan yang sudah ada di daerah tersebut. Kedatangan Islam merupakan sebuha tonggak gerakan revolusioner. Tidak hanya persoalan-persoalan eskatologis, namun mencakup seluruh aspek kehidupan, utamanya sosial-ekonomi.

Posisi agama menjadi sentral manakala ia dapat menjadi teologi pembebas bagi kelompok mustadafin dalam memerangi penindasan yang dilakukan kelompok mustakbirin. Agama jika diformulasikan sebagai teologi pembebasan dapat memiliki peran dalam gerakan revolusioner, dibandingkan agama diformulasikan sebagai ritus-ritus eskatologis semata. 

Maka, jika agama diformulasikan hanya sebagai ritus-ritus belaka, ia akan kehilangan daya revolusinya. Bahkan ia akan membentuk suatu kemapanan yang baru yang tidak akan berdampak dalam pembebasan para pengikutnya. 

Jika Marx mengatakan bahwa agama sebagia candu. Itu bukan berarti agama tidak berdampak apapun dalam kehidupan. Marx menganggap agama –kristen pada masanya- tidak membawa kehidupan bagi masyarakat bahkan ikut melanggengkan kemapanan yang ada. Sehingga, untuk menghilangkan agama yang seperti itu, agama harus lepas dari kemapanan yang ada. Ia tidak boleh ‘berselingkuh’ dan hanya fokus pada ritus belakang. Agama hanrus menjadi penggerak dalam mendobrak praktik-prakti penindasan yang terjadi. Demikian, lah agama seharusnya diposisikan, agama sebagai teologi pembebasan bukan teologi stagnan. 



PDL, 6 Maret 2020

Comments

Popular posts from this blog

Fitur Unggulan Ponsel

Asep, Kopi dan Rokok

Jangkrik