Barista di Bulan Purnama
Aku masih ingat. Malam itu, aku duduk di sebuah tempat kopi tua, tempat ini cukup terpencil, berada di sudut sebuah jalan di pinggiran kota. Orang yang baru tinggal di kota ini pasti tidak akan mengetahui tempat ini. Aku pun demikian, di tahun ketiga aku tinggal disini, aku baru mengetahui tempat ini. Katanya tempat ini sudah berusia lebih dari dua abad. Begitu keterangan yang aku dapatkan dari si empunya tempat.
Hampir setiap kamis malam aku mampir ke tempat ini. Sekedar minum kopi ataupun hanya berbincang dengan barista yang juga pemilik tempat ini. Aku selalu duduk di meja yang langsung berhadapan dengan si barista. Dari situ aku bisa melihat proses pembuatan kopi dan berbincang dengannya.
Setiap aku duduk dan minum kopi di kamis malam pengunjung cukup sepi. Hanya ada satu dua yang duduk di pojokan, rata-rata sendiri, dan berusia lanjut. Selalu ada cerita yang hadir diantara kita berdua. Kadang aku yang bercerita, atau pun sebaliknya. Ia selalu sangat antusias saat aku menceritakan tentang tempat asal ku. Dengan garis pantai terpanjang di dunia. dengan hutan hujan yang besar dan tradisi kebudayaan yang melimpah. Setidaknya hal itu yang ia ketahui dari internet. Walaupun setelah mendengar ceritaku dia seolah tak percaya atas apa yang aku ceritakan, tapi ia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tentang itu.
“Engkau tau Grimm Bersaudara?”
Itulah pertanyaan pertama yang muncul malam itu. Pertanyaan aneh menurutku. Karena di kota ini hampir semua orang mengetahui keduanya, Jakob Ludwig Carl Grimm dan Wilhelm Carl Grimm. Keduanya merupakan kakak-beradik yang terkenal atas karya-karya nya, terutama cerita-cerita rakyat dan dongeng.
“Tentu saja, walaupun aku baru enam tahun tinggal di kota ini, tapi cerita-ceritanya sampai ke tempat asal ku. Sejak kecil aku sudah mengenal beberapa ceritanya.”
“Tapi, cerita yang kau dapatkan tentu cerita bohong, rekaan!”
Aku tersedak sesaat setelah mendengarnya. Kopi yang sedang ku pegang segera aku simpan di atas meja. Aku mengernyit seketika.
“Engkau tahu, bahwa ada satu cerita yang ditulis Grimm Bersaudara adalah cerita bohong. Cerita itu dituliskan tidak berdasarkan fakta yang sebenarnya. Dan, aku mengetahui cerita yang sebenarnya.”
“Bukankah yang namanya cerita dan dongeng pasti rekaan, fiksi.”
“Tapi beda dengan cerita ini. Cerita ini sangat aku ketahui kebenarannya.”
“Cerita apa yang kau maksud?”
“Cerita tantang dua orang anak yang akan disantap oleh seorang penyihir di dalam hutan.”
Aku berpikir sebentar, memikirkan cerita yan ia maksud. “Hansel dan Gretel maksudmu? Tapi cerita itu banyak memiliki versi, jika itu yang menurutmu menjadi suatu kebohongan, mungkin bisa saja, karena setiap penutur kadang berbeda cara menyampaikannya. Bahkan disini pun kau tahu cerita itu ada beberapa versi.”
“Ya, aku tahu itu. Meskipun demikian, pada kenyataannya yang banyak dibicarakan orang dan tersebar ke seluruh dunia adalah versi tersebut. Dan cerita sebenarnya yang terjadi bukanlah seperti itu.”
Suara derit pintu terdengar. Seorang lelaki dan perempuan masuk dan duduk persis disebelahku.
***
Seorang wanita yang tak pernah tua ketakutan. Ini perihal bulan purnama yang akan segera tiba. Ia cemas, ia ketakutan, sebab ia belum mempersiapkan ritualnya. Bulan purnama kali ini, tepat seratus tahun setelah ritual sebelumnya dilakukan.
Wanita itu berjalan bolak-balik di dalam rumahnya. Ia belum menemukan tumbalnya. Bencana kelaparan membuat ia tidak bisa leluasa untuk mencari tumbal. Semua orang tak ada yang banyak berkegiatan. Ladang-ladang kering tidak menghasilkan apapun. Sumber air hanya ada di dalam hutan.
“Bagaimanapun aku harus mendapatkannya. Aku harus kembali melakukan itu. Aku belum mau mati saat ini.” Mata wanita itu berkilat. Napasnya berat. Jari-jemarinya perlahan merapat, mengepal.
Suatu pagi, ia bangun dari tidurnya. Ia lihat suaminya masih terlelap disampingnya. Ia bangun lantas menyiapkan air panas. Dilihatnya kedua anaknya masih terlelap di kamarnya. Sambil berdiri di ambang pintu kamar ia tersenyum
“Besok aku harus mengirimnya ke hutan. Membiarkan tersesat didalamnya.” Muka wanita itu sontak riang. Garis wajahnya terbuka. Senyum terlihat dari bibirnya. Senyum sinis, yang penuh dengan teka-teki.
Aku terus mendengar ceritanya. Sambil meminum kopi yang ia buat khusus, katanya ini kopi paling enak yang akan aku coba. Kali ini aku hanya berdua dengannya. Tidak ada pengunjung yang datang. Malam ini ia kembali melanjutkan cerita yang dulu sempat terpotong.
Wanita itu kini sudah bersiap dengan rencananya. Malam nanti adalah malam dimana bulan purnama sempurna akan muncul. Ia yakin rencananya akan berhasil. Pertama ia menyuruh suaminya untuk pergi mencari persediaan makanan. Meskipun sempat ditolak, dengan alasan persediaan makanan masih bisa untuk beberapa hari kedepan. Tapi ia berhasil meyakinkan bahwa keluarganya harus menambah persediaan yang ada.
Setelah suaminya pergi ia memanggil kedua anaknya. Ia menyuruh keduanya pergi ke hutan, mencari sumber air. Ia tidak begitu mengarang cerita untuk hal ini. Memang benar persediaan air sudah menipis.
Matahari begitu terik, sinarnya menghujam kepala mereka. Sebelum ia benar-benar masuk ke hutan yang banyak ditumbuhi pepohonan tinggi, mereka sempat istirahat. Panas yang begitu terik sungguh menguras energi keduanya.
Mata air ditempat biasa sudah mengering. Terpaksa harus mencari mata air lainnya. Jaraknya cukup jauh, masuk semakin ke dalam. Keduanya terus berjalan. Semakin dalam, pepohonan makin rimbun. Tumbuhan menjalar, merambat hingga menutupi cahaya matahari.
Mereka tak tahu sudah berapa lama berada di dalam hutan. Rasanya sudah berjam-jam mereka berjalan didalamnya. Tanpa makan. Tanpa minum. Tanpa menemukan tujuannya.
“Aku lapar, haus.” Kata sang gadis kecil
“Aku tak membawa perbekalan, tunggu sebentar lagi. Setelah mendapatkan air kita langsung pulang.”
“Apa kita tidak sebaiknya pulang sekarang?”
“Kita belum mendapatkan air itu. Ibu bisa menyiksa kita kalau pulang tidak membawa air.”
“Tapi aku lapar, haus.”
Tak berselang lama keduanya sudah tidak kuat melanjutkan perjalanan. Mereka sudah tidak memiliki tenaga. Ditengah rasa capek itu, mereka menemukan sebuah pondok. Mereka beristirahat. Tanpa sadar mereka terlelap didalamnya.
“Rencana ku berhasil” Wanita itu berteriak sambil tertawa saat memasuki gerbang hutan. Selang beberapa jam setelah kedua anaknya pergi ia turut mengikuti dari belakang.
Ia sudah mengetahui hutan ini. Hutan ini bukan hutan biasa. Ada dua lapis di dalamnya. Salah satu lapisannya ialah hutan tempat dimana ia akan melakukan ritual.
Sejak melihat keduanya berjalan di dalam hutan, ia hanya terkekeh. Keduanya berjalan mencari air dari satu sumber ke sumber lainnya. Bagaimana pun mereka sudah bukan berada di hutan biasa. Tepat saat mereka berjalan, disebuah jalan yang berkelok. Disebuah pohon besar yang rantingnya menjalar sampai puluhan meter. Diperbatasan antara hutan biasa dan hutan ritual. Sejak saat itu, wanita itu memulai ritualnya.
Cahaya matahari sudah tidak bisa tembus. Bukan karena rapatnya pepohonan yang ada. Melainkan hutan ini memang tidak memiliki matahari. Jubah hitam menyelimuti hutan ini. Bulan purnama sebentar lagi nampak. Bulan purnama yang hadir seratus tahun sekali, bulan purnama yang akan menentukan kehidupan wanita itu.
***
Malam ini aku tidak pergi ke tempat kopinya. Malam saat ia bercerita langit berhiaskan bulan purnama yang indah. Aku pun baru melihat bulan purnama seperti itu. Dan pada malam itu, di bawah bulan purnama yang sempurna. Tepat saat ia menceritakan semuanya kepadaku, saat jam menunjukan pukul 00.01 ia ambruk di depanku. Ia mati, tubuhnya mengerut dengan cepat dan perlahan hilang seperti debu. Setelah seratus tahun ia bisa menambah masa hidupnya, akhirnya ia memutuskan untuk menyudahi harinya.
Sejak malam itu, aku tidak pernah bertemu dengannya kembali. Malam yang menjadi malam terakhir pertemuan kita. Malam dimana aku meneguk kopi yang ia buat untuk terakhir kali. Malam dimana aku mendengar ceritanya yang terakhir. Malam saat aku mengetahui fakta sebenarnya dari sebuah dongeng. Satu ritual dan seratus tahun ia bisa hidup lebih lama.
PDL, 16 April 2020
Comments
Post a Comment