Berdamai dengan Penolakan
Penolakan demi penolakan setidaknya pernah aku alami. Penolakan cinta, penolakan diri, penolakan kerja, penolakan ide, dan beragam penolakan lainnya. Setidaknya penolakan tersebut menjadi jalan hidup lebih 'ramai', panjang dan berkelok-kelok.
Tentu, saat penolakan itu pertama kita terima rasanya tidak mengenakan. Ada rasa jengkel terhadap pihak-pihak yang menolak kita. Ada pula rasa jengkel terhadap diri sendiri yang menyebabkan penolakan itu terjadi. Bahkan kadang dari sati penolakan bisa merembet kepada orang lain yang sebenarnya tak ada sangkut pautnya. Misalnya, saat kita menerima penolajan lantas kita murang-maring, sikap tersebut kadang terbawa kepada interaksi kita dengan orang lain, dan malah menimpakan kekesalan pada orang tersebut.
Setidaknya aku oernah berada disituasi seperti itu. Saat aku murang-maring kepada orang lain, maupun saat aku menjadi 'korban' dari orang yang sedang murang-maring.
Untungnya aku merasa bahwa sikap murang-maring itu hanya mengendap di dalam diriku sesaat. Ketika ada aktivitas lain biasanya aku cepat melupakannya. Jadi aku tidak memendam perasaan itu dalam-dalam dan dalam waktu yang lama.
Apakah itu suatu keuntungan? Aku rasa tidak. Sebab, biasanya hal tersebut menjadi memori alam bawah sadar yang akan aktif tiba-tiba tanpa kita rencanakan. Ada dua kemungkinan apabila hal tersebut terjadi. Pertama, kita menyikapinya dengan terbawa alur memori tersebut, misalnya memori yang membuat kita sedih maka kita pun ikut mengulangi kesedihan yang dulu pernah ada. Atau, kedua, kita menyikapinya dengan sikap yang bertolak belakang atau lain dari memori yang muncul, contoh memori sedih tadi misalnya bisa kita sikapi dengan senang, tertawa, dan menganggalnya sebagai suatu hal yang lucu.
Pertanyaannya kemudian adalah manakah yang merupakan sikap yang sebaiknya kita lakukan? Jawabannya tergantung. Ya, itu benar. Tidak ada jawaban saklek bahwa harus mengambil sikap A atau B. Tapi, yang menjadi intinya adalah kita bisa menerima pilihan tersebut dan menjadikannya batu loncatan untuk jalan yang masih terhampar di depan kita.
Kalau begitu, kita sekaan tidak memiliki pijakan yang pasti dong? Tentu saja tidak. Sebab, keberpihakan tidak harus hanya fokus untuk memilih di antara dua pilihan tadi misalnya. Bisa jadi, kita berdiri dan tidak mengambil pilihan keduanya. Bisa juga kita malah mengambil keduanya. Bisa juga membuat pilihan lain yang lebih radikal. Intinya adalah kita sudah menetapkan pilihan. Sehingga, pilihan itulah yang menjadi pijakan keberpihakan kita.
Dengan demikian, beranekaragam bentuk dan cara penolakan yang pernah kita terima setidaknya menjadi partikel-partikel kecil yang menyusun setiap kehidupan kita. Karena aku percaya bahwa setiap pengalaman, baik-buruk, senang-sedih, berhasil-gagal, dan lainnya merupakan elemen-elemen yang akan membuka, memperkaya, menguatkan, makna hidup kita. Termasuk di dalamnya adalah pengalaman terhadap penolakan. Dengan begitu, sudah sewajarnya apabila kita berdamai dengan penolakan.
PDL, 16 April 2020
Comments
Post a Comment