Catatan Perpanjangan
Kalau saja masa berlaku Surat Izin Mengemudi (SIM) tidak lima tahun sekali, maka aku tidak perlu untuk datamg ke Polres. Tapi itu semua tidak ada, aku harus tetap pergi ke polres, selama masih membutuhkan surat yang berbentuk kartu tersebut.
Pertama datang dan memarkirkan motor di parkiran polres, seorang bapak sudah menghampiri –sepertinya ia petugas parkir- lantas bertanya “Ada yang bisa dibantu pak? Bikin baru atau perpanjang?” “Perpanjang,” jawabku singkat. Lantas ia pun kembali ke tempat ia duduk semula.
Tak berselang lama aku berjalan untuk ‘membeli kertas’. Ya, yang terjadi adalah kita membeli selembar kertas berukuran kurang lebih A5 yang katanya ‘surat dokter’ sebagai bentuk sudah melakukan cek kesehatan. Selembar kertas yang saya kira tidak berguna sama sekali. Tapi yang lebih tidak berguna adalah saya sendiri, sebab masih tetap saja membelinya. Bodoh memang.
Setelah kertas seharga 40 ribu tersebut selesai aku dapat, aku kembali ke bagian pendaftaran dan memasukan persyaratan untuk perpanjangan SIM. Dari setiap proses yang saya lalu sejak pertama kali datang di Polres sampai saya memasukan berkas, di beberapa kesempatan bertemu dengan orang-orang ramah yang senantiasa bertanya “Mau dibantu Pak?”.
Memang benar jika Indonesia terkenal dengan masyarakatnya yang ramah, saya pun mengalaminya di Polres, banyak orang yang menawarkan bantuan. Baik yang berpakaian biasa maupun berseragam. Seragamnya pun bermacam-macam, ada seragam koperasi polres, seragam pns polres, maupun seragam isilop.
Karena saat ini sedang merebak COVI-19, sebelum masuk gedung harus masuk bilik disinfektan yang tersedia. Tapi jangan harap ada yang namanya physical distancing. Itu hanya mitos, mungkin hanya saat diliput saja di polres menetapkan physical distancing. Terbukti saat tidak ada petugas sovorp, semuanya, bahkan isilop pun tidak mengindahkan anjuran itu. Didalam gedung pun demikian, duduk yang berdempet, tiap kursi yang kosong di duduki. Tidak ada jaga jarak jaga jarak.
Hampir semua yang ada disana, baik petugas maupun masyarakat sudah mengerti dan mahfum terhadap praktik percaloan. Saya pun demikian halnya. Tak jarang ada isilop yang masuk ke ruang foto membawa kliennya. Beberapa kali terjadi. Kami orang-orang yang perpanjang sering tersalip oleh praktik tersebut. Tapi kami pun diam saja, aku pun begitu.
Birokrasi yang lambat itulah gambaran yang terjadi dalam proses perpanjangan SIM tersebut. Asumsiku bahwa tiap orang mungkin menghabiskan waktu sekitar 3-5 jam hanya untuk mengikuti alur perpanjangan SIM.
Terakhir adalah sesi pengambilan SIM. Saat pengambilan ditawarkan laminating seharga 10 ribu rupiah. Katanya SIM sekarang beda karena sudah termasuk uang elektonik, ya memang demikian. Tapi dengan alasan seperti itu, saya kira tidak tepat juga. Bilang saja terus terang dia menawarkan jasa untuk melaminating Sim juga menjual dompet kecil untuk menyimpan SIM tersebut. Padahal petugasnya pake seragam loh. Pas giliran saya dipanggil untuk mengambil, saya cek sebentar lalu bergegas keluar. Tapi saya di panggil dan disuruh untuk mengisi suatu buku, katanya untuk di data. Tapi tadi orang-orang yang sudah selesai dan SIM nya di laminating ko tidak di data. Aneh juga. Tepat saat saya akan mengisi data, seorang petugas lainnya datang dan menyuruh saya dan beberapa orang yang sudah mengambil SIM nya untuk segera keluar. Petugas itu menyruuh petugas yang melaminating untuk menyudahi kegiatannya. Terdengar “Ada pengawas,” petugas yang tadi melaminating pun memasukan semua ‘dagangannya’ de dalam laci di mejanya. Dan menyuruh yang lain untuk duduk terlebih dahulu. Sayang, saay itu aku sudah terlanjur keluar. Sehingga tidak mengetahui kelanjutan ‘drama’ yang terakhir.
Begitulah sedikit catatan saya selama di Polres dalam rangka perpanjangan masa berlaku SIM.
PDL, 20 April 2020
Comments
Post a Comment