Diskusi Dalam Jaringan
Ia sedang duduk di kursi santai di teras rumahnya sebelum pemberitahuan pesan whatsapp bermunculan. Lantas ia segera mengambil ponsel yang disimpan di meja kecil di samping kanan kursi tersebut. Dilihatnya pesan tersebut muncul dari salah satu grup, rupanya kegiatan diskusi dalam jaringan akan segera dimulai. Diskusi dalam jaringan ini sudah mulai di lakukan beberapa kali selama masa #diruhamaja. Kali ini tema diskusi akan membahas tentang Islam dan Perubahan Sosial. merasa dirinya tidak memiliki kompetensi dalam hal tersebut ia memutuskan untuk tidak banyak bersuara, setidaknya ia akan menjadi pembaca dari teks-teks yang muncul di layar.
Moderator membuka kegiatan diskusi dengan mempersilahkan kedua pemantik untuk bergantian menyampaikan pandangan awal terhadap tema yang ada. Setelah itu, baru para peserta diskusi yang ada di dalam grup tersebut diperkenankan menanggapi. Dari total 55 anggota grup whatsapp tersebut yang terlibat aktif hanya segelintir, moderator, dua pemantik, dan sekitar 4-5 orang peserta diskusi. Mungkin sisanya sama sepertinya yang hanya menjadi pembaca teks-teks yang bermunculan.
Sejam berlalu diskusi masih terbaca hambar. Tidak ada perdebatan yang terjadi, semua berjalan sangat lambat. Pandangan yang eksesntrik, radikal dan mengundang perdebatan belum bermunculan, baik oleh pemantik itu sendiri maupun peserta lainnya. Jam 10 malam, dua jam setelah moderator membuka diskusi, mulai bermunculan gerombolan peserta diskusi yang langsung menanggapi bahkan cenderung menyerang pandangan dari kedua pemantik. Pernyataan maupun pertanyaan yang dilontarkan cukup membuat suasana diskusi yang muram berubah seketika. Ledakan-ledakan pendapat mulai bermunculan, peserta yang ikut terlibat dalam diskusi semakin banyak.
Ada salah seorang peserta diskusi yang mempertanyakan eksistensi Tuhan dalam proses perubahan sosial. Menurutnya, semua proses perubahan sosial terjadi pada dasarnya akibat dari interaksi manusia. Tuhan tidak berkepentingan dalam proses tersebut karena Tuhan –seperti menurut Nietszche- telah mati. Ada pula pandangan lainnya yang beranggapan bahwa ada dasarnya semua agama ibrahimiyah/abrahamic/semitik hadir untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan. Sebab, semua agama tersebut lahir dan berkembang dalam satu garis kenabian/kerosulan yang ada, mulai dari Nabi Ibrahim As sampai Nabi Muhammad Saw. Sehingga, pada dasarnya agama merupakan suatu teologi pembebasan.
Di samping itu, muncul juga pendapat yang berkaitan dengan doktrin keagamaan, khususnya Islam. Pendapat yang menyebutkan bahwa salah satu yang menyebabkan agama tidak dapat menjalankan fungsi pembebasnya karena agama menjadi sebuah agen dalam mempertahankan status quo. Kitab suci –dalam hal ini al-Quran- hanya dipandang sebagai sebuah simbol yang tidak memiliki dampak apapun selain sebagai bahan bacaan. Manusia beranggapan bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini merupakan suratan takdir yang sudah dituliskan oleh Tuhan, maka sebagai manusia kita tidak memiliki wewenang dalam mengubahnya. Pandangan –jabariyah- tersebut merupakan pandangan yang dominan di anut oleh para umat Islam hampir di seluruh dunia, salah satu rujukan dalam beragama bagi mereka adalah tafsir buta yang dilakukan oleh para pemuka agama maupun para penguasa.
Sikap tersebut merupakan salah satu masalah yang seyogianya harus di atasi demi mengembalikan khittah agama sebagai kekuatan pembebas, ini pendapat yang muncul kemudian. Sehingga, kejumudan dalam berpikir harus diberantas dalam tradisi kehidupan bermasyarakat, beragama maupun beragama. Sikap kritisisme harus digelorakan dalam percakapan di ruang publik. Maka, pandangan qadariyah –yang berusaha mempertanyakan setiap hal, termasuk yang dikatakan kitab suci- menjadi salah satu gerbang dalam mencapai tujuan tersebut, yakni masyarakat yang kritis yang tidak hanya mengkonsumsi taklid buta dari para pemuka agama maupun penguasa.
Tak terasa, sudah hampir 3 jam ia duduk di kursi santai di teras rumahnya. Pandangannya tak lepas dari teks-teks yang bermunculan di layar. dia telah menjalankan fungsinya dengan baik malam itu, menjadi peserta diskusi yang fokus pada bacaan. Saking fokusnya menyelami setiap bacaan, kopi yang ia bawa untuk teman bersantai pun luput dari perhatiannya. Kini panasnya sudah menurun, suhunya kembali kepada suhu air normal. Mungkin suhu panas kopi tersebut bukan hilang menyatu dengan alam, tapi berpindah ke dalam pikirannya. Dia bangkit dari duduknya, lantas berjalan memasuki rumahnya.
PDL, 17 April 2020
Comments
Post a Comment