Ihwal Kritik
Demokrasi memberi ruang bagi masyarakat untuk senantiasa menyuarakan aspirasi dan tuntutan. Hal itu menjadi salah satu pilar dalam menjaga demokrasi. Runtuhnya satu pilar akan membawa demokrasi ke jurang otoritarianisme. Sebuah situasi dimana masyarakat tidak berkutik dalam jalannya negara. Semua aspek diatur oleh negara dan kebenaran menjadi produk yang dikeluarkan olehnya.
Budaya kritik menjadi jalan dalam tumbuh kembangnya budaya demokrasi. Kritik menjadi indikator dalam melihat hubungan antara rakyat dan penguasa. Kritik menjadi pengurai dari setiap persoalan negara yang tidak bisa dilakukan negara. Atau kritik pun menjadi pengurai atas persoalan yang dibuat dan ditimbulkan oleh negara.
Namun demikian kritik kadang kala dianggap sebagai benalu bagi penguasa beserta gerombolannya. Kritik menjadi sebuah objek yang harus disingkirkan. Dan orang yang mengutarakan kritik menjadi subjek yang perlu untuk dibatasi gerak-geriknya. Pengalaman di masa lalu –seperti Marsinah, Wiji Thukul, Munir- menjadi contoh bagaimana kritik di balas sikap represif dari negara. Pun begitu yang terjadi hari ini, praktik-praktik seperti itu nampaknya masih populer di kalangan penguasa.
Respon negara dalam menanggapi beragam kritikan yang datang dari rakyatnya begitu culas. Negara yang hadir seyogianya untuk menjunjung “kemanusiaan yang adil dan beradab” justru pada praktiknya menihilkan nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Boro-boro mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat” yang ada adalah mewujudkan kemakmuran bagi dirinya masing-masing.
Maka tak heran apabila tangkap-sana tangkap-sini begitu gencar di lakukan negara melalui aparatnya. Tanpa dasar yang jelas negara menstempel delik kepada siapapun. Bahkan terhadap pemikiran pun delik masih ditempelkan. Sehingga, jangan berharap demokrasi akan senantiasa menbawa keadilan dan kedamaian di negara yang menmberangus tradisi kritik warga negaranya.
PDL, 24 April 2020
Comments
Post a Comment