Menempuh Perjalanan

Sebagai manusia yang sampai saat ini masih menjalankan ritus keagamaan saya mencoba untuk terus menggali apa-apa saja perkara yang ada dalam agama tersebut. Disamping membaca teks-teks yang berkaitan, pengalaman spiritual sehari-hari pun menjadi hal yang patut saya pertimbangkan.

Sejak lahir Islam sudah dinisbatkan kepada saya oleh orang tua melalui adzan yang dikumandangkan. Setidaknya itu yang saya ketahui setelah cukup untuk bisa mengingat bahwa keluarga yang beragama Islam, ayahnya, akan mengumandangkan adzan saat anak mereka lahir. Ke-Islam-an saya pun terus bergulir bak bola salju yang menggelinding dari atas bukit. Semakin lama, semakin jauh, semakin membesar, seperti dalam film-film kartun. 

Pun begitu dengan pengalaman, pengetahuan dan pemahaman saya akan Islam itu sendiri. Semakin lama, semakin jauh, semakin membesar, tentu saja belum tentu positif. Waktu, jarak, dan besarannya tidak harus selalu mengarah kepada pengalaman, pengetahuan dan pemahaman akan Islam yang positif. Islam yang mendalam. Islam yang radikal.

Seperti yang saya tulis pada alinea kedua, ke-Islam-an saya dapatkan karena lahir di keluarga Islam. Saya tidak ingat perjanjian sebelumnya dengan Tuhan bahwa saya akan lahir di keluarga mana, menjadi apa dan sebagainya. Tapi, yang saya tahu bahwa Islam yang saya jalani saat ini adalah akibat dari kelahirannya di tengah keluarga Islam. Saya ulangi, akibat lahir di keluarga Islam.

Lantas, apa yang salah dengan hal tersebut? Tidak, saya tidak mempermasalahkan salah dan benar. Tapi disini saya mencoba untuk memahaminya sebagai langkah awal bagi pencarian keyakinan yang adiluhung terhadap Islam. Walaupun itu saya ketahui belakangan, tidak sedari awal saat dilahirkan saya mengetahui hal tersebut.

Ada dua kemungkinan yang bisa saya ambil. Pertama, menjalankan ke-Islam-an secara holistik, secara menyeluruh, dimulai di lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, membaca buku-buku, berguru kepada ulama-ulama dan sebagainya. Kedua, memilih untuk menyepelekan hal tersebut dan hidup seakan tidak akan pernah menemui ajalnya.

Setidaknya kedua jalan itu pernah saya coba. Katakanlah sejak saya mulai mengenal buku yang disebut Iqra, yang terdiri dari enam jilid. Lantas juz amma. Lantas al-quran. Itu salah satu jalan yang pernah saya ambil. Jalan keduanya adalah dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang nir-agama. Jalan yang penuh dosa, yang sering digambarkan sebagai jalan bagi para penghuni neraka.

Semakin bertambah umur, jalan hidup yang saya tempuh pun semakin beragam. Setelah menempuh jalan bagi para penghuni neraka, saya pun pernah mencoba kembali ke jalan yang oleh para senior disebut jalan surga. Kelompok yang benar, kelompok yang sesuai dengan ajaran Islam kaffah

Tapi, lagi-lagi, saya pun pernah berada pada titik dimana memandang agama sudah tidak relevan dalam kehidupan, ada yang bilang jalan yang saya tempuh tersebut jalan ateis, jalan agnostik, dan jalan yang dinamai dengan istilah sepadan dengan dua sebelumnya.

Meskipun pada akhirnya, lagi-lagi saya kembali mengarungi khazanah ke-Islam-an. Tapi, dengan wajah pemahaman baru. Wajah Islam yang berbeda dari sebelumnya yang pernah saya pandang. Tidak sekonyong-konyong menelan seruan begitu saja. Berislam dengan akal sehat, jika menggunakan istikah kyai Edi AH Iyubenu dalam buku terbarunya. Karena tidak ada agama bagi orang yang tidak menggunakan akal.



PDL, 6 April 2020

Comments

Popular posts from this blog

Fitur Unggulan Ponsel

Asep, Kopi dan Rokok

Jangkrik