Meramu

Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita temui orang-orang yang senantiasa memberi suatu penjelasan. Entah dalam wujud tatap muka, melalui diskusi, ceramah, ataupun ngobrol biasa maupun melakui medium virtual, seperti Youtube, Zoom dan lain-lain. Orang-orang tersebut tentunya menjelaskan berdasarkan sumber-sumber yang ia yakini juga dengan ideologi yang mereka pahami. Sehingga, dalam penjelasannya sarat akan maksud dan tujuan dari si orang tersebut. 

Dalam kajian analisis wacana kritis, bahasa memiliki peran yang sangat penting. Bahasa tidak hanya menjadi jembatan antar komunikan, tapi di dalam bahasa terkandung muatan-muatan ideologis dari si pembawa wacana. Preferensi ideologis tersebut dapat kita temukan dalam bahasa yang digunakan. Sehingga, penting bagi kita sebagai penerima penjelasan untuk senantiasa menyaring setiap gagasan yang masuk. Karena dengan begitu, kita tidak menjadi konsumen buta terhadap suatu ide.

Termasuk penjelasan-penjelasan mengenai keagamaan dan politik yang nampaknya belum bebas daei tradisi polarisasi kepentingan. Polarisasi kepentingan menjadi momok yang membuat masyarakat pada umumnya sudah melepaskan mekanisme filterisasi ide/gagasan apabila sejak awal kita sudah mengidentifikasi diri berada di sisi yang mana. Proses penyaringan wacana tersebut belum melalui proses penyaringan. Sehingga yang terjadi adalah saling meneruskan ide yang ada, tanpa pernah dilakukan peninjauan atas ide tersebut.

Masing-masing pihak merasa apa yang menjadi gagasannya merupakan hal yang benar dan gagasan pihak lain salah. Mekanisme mawas ide tidak berjalan, akibatnya yang terjadi adalah riak-riak dipermukaan tanpa menyentuh persoalan dasar yang sedang dihadapi. 

Maka, hal sederhana yang dapat kita lakukan pertama kali adalah meramu setiap ide/gagasan/wacana/penjelasan yang datang dan masuk di telinga, mata dan pikiran kita sebelum menanggapi atau menyebarluaskan hal yang dimaksud. Gus Nadir, salah seorang intelektual, ulama yang kini bermukim di Australia menyebutkan bahwa sangat penting di zaman seperti ini, dimana teknologi terus memutakhirkan dirinya, untuk senantiasa menyaring setiap informasi yang kita peroleh. Penjelasan akan hal tersebut beliau jabarkan secara gamblang dalam bukunya berjudul Saring Sebelum Sharing (2019).

Cara kedua yang dapat kita lakukan setelah menyaring setiap hal-ihwal yang kita terima adalah dengan mempertanyakan argumentasi-argumentasi dari setiap apa yang kita terima. Terlihat seperti suatu hal yang sepele, tapi proses mempertanyakan ulang tersebut biasanya luput di masyarakat. Tradisi kritik nampaknya belum menjadi kebiasaan sehari-hari, sikap kritis terlihat seperti sesuatu yang elitis dan hanya menjadi komoditas orang-orang yang intelek. 

Padahal dalam agama, khususnya Islam, mengatakan bahwa mempergunakan akal pikiran sebagai suatu proses mempertanyakan sesuatu merupakan hal yang wajib dilakukan. Sebab, akal pikiran merupakan jembatan bagi kanusia untuk memahami segala realitas yang terjadi di muka buki juga memahami maksud dan makna dari setiap kitab suci. Edi AH Iyubenu dalam bukunya Berislam dengan Akal Sehat (2020) menyebutkan bahwa tidak ada agama bagi mereka yang tidak menggunakan akalnya. 

Dengan begitu, diharapkan kita bisa lebih terbuka dalam menghapadi suatu kejadian. Senantiasa memiliki kepekaan diri untuk kenyaring setiap informasi yang kita terima. Juga dapat memaksimalkan akal pikirannya dalam mengambil suatu sikap atas fenomena yang terjadi.



PDL, 14 Maret 2020

Comments

Popular posts from this blog

Fitur Unggulan Ponsel

Asep, Kopi dan Rokok

Jangkrik