Di Bawah Api Membara

DI waktu tertentu, malaikat dan setan melayang-layang di atas sana. Termasuk saat si jago merah melahap habis kayu dan bilik bambu yang disusun rapi membentuk rumah. Malaikat melayang, hanya menonton, tidak ikut memadamkan api. Malaikat justru bersekongkol dengan warga yang berkerumun di bawah. Juga dengan setan yang setia mendampingi Tuan, Puan beserta satu anak yang berbaring di dipan.

Seorang Tuan, Puan dan seorang anaknya tinggal di rumah itu bertahun-tahun. Sejak orang-orang yang berkerumun itu belum datang dan sepakat membentuk kampung. Sejak sawah masih terhampar dan hutan masih rimbun.

Umurnya mungkin lima puluhan dan si anak mungkin baru dua puluh awal. Tapi fisiknya masih seperti anak kecil, orang-orang menyebutnya laki-laki cebol. Dengan tangan kiri yang lebih panjang dibanding kanan. Kaki yang membentuk huruf “O”. Wajahnya tidak memiliki struktur dasar. Ditambah suaranya yang hemat nyaris tak terdengar.

Sejak kecil Arman meringkuk di rumah. Tidak pernah berjalan barang selangkah di luar. Cahaya matahari hampir tidak pernah menyentuh kulitnya, mungkin sebab itu kulitnya berbeda dari kulit orang-orang biasa. Jadwalnya setiap pagi ialah duduk di kursi menunggu makanan hinggap di mulutnya. Menjelang siang ia akan melihat Sang Tuan menerima beberapa orang di beranda rumahnya. Obrolan mereka terdengar ke tempatnya berada, meskipun ia tak pernah mengerti apa yang mereka bicarakan.

Orang-orang yang datang seperti tidak menyadari keberadaaannya. Meskipun bertahun-tahun mereka mengunjungi rumah itu, mereka tidak menyadari keberadaan Arman. Batang hidungnya tidak pernah terlihat, selain karena tidak mempunyai batang hidung, Arman hanya meringkuk di ruangan 2x2 meter setiap ada orang yang datang dari luar. Agaknya itu tidak menjadi hal yang terlalu dipikirkan Arman. Sebab, kegiatan seperti berpikir tidak ada dalam kamusnya.

“Sini, duduk,” Puan menyuruhnya duduk kembali di kursi biasa, “makan ini agar kau terus hidup.”

Setiap malam ia akan kembali duduk di kursi yang setiap pagi ia duduki. Ia akan duduk sembari menunggu makanan hinggap di mulutnya. Ia tidak tahu dari mana sang puan mendapat makanan ini. Hampir setiap hari makanan yang hinggap di mulut berbeda. Lidahnya masih berfungsi dengan baik, mampu membedakan rasa dari setiap makanan.


IA harus membayar mahal akibat dari persekutuannya. Pertama, istrinya tidak akan pernah melahirkan seorang anak. Kedua, jika suatu saat istrinya hamil maka jangan berharap manusia yang akan hadir. Ketiga, pastikan apabila ada sesuatu yang keluar dari selangkangan istrinya, jangan biarkan itu dilihat oleh manusia lain dan terkena cahaya matahari.

Ada perasaan yang berbeda saat menggunakan hasil dari persekutuan. Ia bisa melayang dan bertemu dengan orang yang sudah lama ia tidak bisa jumpai. Orang-orang yang hanya dikenal melalui siaran radio atau koran yang ia baca sebulan sekali. 

Mereka bisa ia temui hanya dalam waktu sekejap. Istrinya pun demikian, ia bisa bertamasya ke masa depan orang lain. Bertemu dan bercengkrama dengan mereka. Juga pergi ke masa lalu melihat dirinya dan teman-teman perempuannya menjadi alat pemuas nafsu batang-batang sosis yang mekar. Jika itu hadir maka ia langsung berhenti melakukan tamasnya. Bajingan, katanya.

Di suatu warta berita yang mengudara ia mendengar tentang seorang calon kepala daerah yang mengajak pendengarnya untuk memilih dia. Malamnya, ia pergi dan bertemu si calon kepala daerah.

“Kau tidak akan pernah bisa menduduki kursi itu.”

“Siapa kau? Berani-beraninya berkata demikian.”

Keesokan harinya si calon kepala daerah bergegas memerintah anak buahnya untuk mencari orang yang hadir tadi malam. Si calon kepala daerah begitu gelisah. Jika ingin mencari laki-laki yang bisa melihat masa depan di mana kiranya kami bisa menemuinya? Anak buahnya pergi dengan berbekal informasi seperti itu. Seluruh kota sudah didatangi, semua orang sudah ditanyai. Hasilnya nihil.

“Ada satu rumah di pinggiran kota, persis sebelum memasuki muka hutan, mungkin kalian bisa bertanya kepadanya. Aku pernah sekali melewatinya saat pergi kehutan dulu.” Seorang warga yang ditemui di alun-alun kota memberi informasi tambahan.

“Harus seperti ini?” Tanya calon kepala daerah sambil mengenakan kaos partai berwarna jingga.

“Seperti itu syarat yang ia berikan, Tuan.”

Si calon kepala daerah akhirnya datang seorang diri. Berkaos partai yang sudah lusuh, celana boxer yang terdapat bercak lumpur di beberapa bagian, topi caping di kepalanya dan cangkul di atas pundaknya.

“Apakah benar  demikian?” Si calon kepala daerah membuka pertanyaan.

“Ya, sainganmu tidak hanya licik dengan memanipulasi perolehan suara nantinya, ia mengerahkan bala tentara magis untuk memengaruhi pilihan orang-orang. Kedua hal itu sudah cukup untuk menyingkirkanmu dari persaigan perolehan kursi. Seberapa besar usahamu berkeliling kota tidak akan berguna sama sekali.”

Si calon kepala daerah pulang dengan sedikit rasa tenang. Ia tidak sendiri, orang itu memberi pengawalan khusus untuknya. Ini bukan hanya akan mengawalmu, ini akan menjadi penyampai informasi apabila pesaingmu berbuat sesuatu yang tak bisa kau ketahui. Begitu pesan yang disampaikan laki-laki yang datang di mimpinya.


SATU warga kampung ditemukan mati di sawah. Dengan cangkul yang masih di genggamnya. Tubuhnya menghambat aliran air yang masuk kesawah. Tidak ada bekas yang menunjukan ia korban pembunuhan. Juga tidak ada jejak kaki lain yang terlihat jika orang lain membunuhnya.

Keluarga dari laki-laki yang ditemukan mati di sawah mengalami nasib yang sama. Mereka –istri dan dua anaknya– ditemukan mati di rumahnya. Seperti suami dan bapaknya, tidak ada bekas yang mengarahkan mereka mati dibunuh.

Warga mulai curiga terhadap aktifitas di rumah itu Selain setiap hari orang hilir mudik ke rumahnya. Kedua penghuninya jarang sekali keluar menampakan batang hidupnya.

Saingan si calon kepala daerah –kini sudah menjadi kepala daerah–tahu bahwa pada pemilihan sebelumnya, rivalnya menggunakan bala tentara magis seperti dirinya. Bala tentara yang lebih banyak dan lebih kuat, yang tidak bisa dikalahkan oleh para penenung yang dimilikinya.

Menjelang pemilihan kembali digelar, calon kepala daerah yang kalah itu mulai melakukan kampanye. Bukan untuk menjatuhkan kepala daerah yang sedang duduk, tapi menjatuhkan kekuatan magis yang ada di belakangnya. Sebab dengan demikian ia bisa dengan mudah mengambil alih kursi yang terisi.

Beberapa warga kembali ditemukan mati: di rumahnya, di hutan, ada pula yang di jalan. Lagi, tubuhnya tidak mengindikasikan bahwa mereka korban pembunuhan. Kematiannya begitu rapih, seperti terjadi kaena sudah waktunya ajal menjemput.

Calon kepala daerah yang kalah memberi kabar bahwa orang-orang yang mati adalah mereka yang dijadikan tumbal. Tumbal itu diperlukan untuk memberi makan bala tentaranya agar tetap awas dan sigap melindungi dirinya duduk di kursi.

Mengingat tidak ada kemungkinan yang lain, orang-orang mulai berdesas-desus tentang hal itu. Di warung kopi mereka membicarakan tentang kepala daerah yang menggunakan kekuatan magis untuk mengamankan posisinya. Mereka menautkan berita tersebut terhadap orang-orang yang mati tiba-tiba. Seorang laki-laki yang ditemukan mati di sawah beserta keluarganya yang menyusul kemudian. Mayat-mayat yang bergelmpangan di jalanan.

Semakin hari berita itu terembus dari mulut ke mulut. Orang yang mati bertambah banyak. Kepala daerah yang merasa terusik kembali mendatangi Tuan dan Puan.

“Aku takut desa-desus itu meruntuhkan posisiku.”

“Jangan takut, orang-orang yang ku tempatkan bersamamu tidak akan kalah melawan pasukan pesaingmu,” ia sesungguhnya berbohong. “Aku akan menambahnya,” kebohongan lain lahir.

Pintu rumahnya suatu hari terbuka lebar. Seorang warga yang tengah melintas melihat mahkluk aneh, mengerikan dan menjijikan. Tuan dan Puan yang merasa kecolongan membawa orang tersebut ke bawah rumahnya. Ia mengancam akan membunuhnya. Di lain waktu cahaya matahari menembus celah-celah bilik yang mulai rapuh. Kulit Arman terbakar seketika. Merasa kecolongan untuk kedua kalinya, kekhawatiran mulai dirasa Tuan dan Puan. Mereka ingat pesan sekutunya tempo hari.


ARMAN kembali meringkuk di dipannya setelah makanan hinggap di mulutnya. Sang Puan kembali mengantarnya ke kamar, menyilakannya untuk tidur.

Ia bisa mendengar keributan di luar. Hidungnya yang tak berbatang tetap bisa mencium aroma yang begitu asing. Tuan dan Puan masuk ke kamarnya, ia tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mereka hanya mengantarkannya untuk pergi. Sebelum keduanya hilang di balik pintu, ada yang lain masuk. Ia dibawanya berdiri, tangannya yang panjang sebelah kini sejajar. Wajahnya yang tak memiliki struktur dasar kini sempurna. Kaki yang membentuk huruf “O” itu tidak ada, Tubuhnya seketika memuai. Ia dibawa melayang, menyatu dengan titik-titik cahaya di udara.

Tuan dan Puan terlihat sedang berbaring di dipan, di sebelah kamarnya. Di sisi lain, di udara, ia melihat setan dan malaikat berdampingan.

“Kini giliranku menjemput ajalnya. Kau memang tidak pernah putus asa menyesatkan manusia.” Ia bangkit dan mendekati tuan dan puan.

“Memang begitulah tugasku, keturunanku sengaja aku simpan di rumahnya untuk terus membawanya dalam kesesatan.”

Si jago merah membumbung tinggi, membara, melahap seluruh rumah yang selama ini ia tiduri. Di kejauhan hal yang sama terlihat, api yang lebih besar dari arah alun-alun berkobar. Di titik lain, api yang tak kalah hebat juga membakar sesuatu.

Ia kini kembali bersama leluhurnya. Setelah sekian lama berada dalam tubuh yang begitu menyiksa hakikatnya. Ia kembali melayang-layang dan siap menerima tugas lain yang diberikan kepadanya.

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali