Kembali Keluarga

Enak juga rasanya melakukan kegiatan yang sama seperti yang kita lihat di gedung tadi.  Pikirku saat duduk di kursi kereta lokal Danbung Raya jurusan Ladaparang.

“Kenapa?, kok melamun.” Temanku, Arif, yang sejak pagi bersamaku mengaburkan lamunanku. Ia duduk persis di depanku. Kami duduk di samping jendela. Kursi sebelah kami masing-masing diduduki seorang pedagang cobek yang sedang menghitung uang di tangannya. Sementara di depannya duduk seorang wanita, kira-kira tiga puluh awal, yang terlihat capek setelah bekerja seharian.

Stasiun tempat aku turun masih harus melewati 5 perhentian lagi. Danbung, Yirocom, Micindi, Micahi, Badogangkong, sebelum akhirnya tiba di tujuan akhir Stasiun Ladaparang. Kereta Api dengan nomor 515 yang aku naiki ini tiba pukul 17.45 di stasiun akhir. Itu menurut jadwal perjalanan sesuai Grafik Perjalanan Kereta Api tahun 2019.  Sekitar 50 menit lagi dari sekarang.

Aku bercerita tentang pertunjukan teater yang tadi kita tonton di Gedung Murentang Siang, daerah Sokambi. Teater itu bertitel Arwah Si Tukang Ngompol. Bercerita tentang seorang remaja yang berumur empat belas tahun yang setiap pagi bangun dengan air seni yang membanjiri kasur dan celananya.

* * *

Sansan adalah anak dari seorang dukun yang sehari-hari menerima tamu di saung butut di kebun belakang rumahnya. Setiap hari selalu saja ada orang yang datang kepadanya. Dari orang ber kaos oblong hingga orang mengenakan tuksedo dengan dasi kupu-kupu yang seolah ingin terbang, rambut yang klimis yang dikawal dua orang bertubuh tegap berkacamata hitam, berambut cepak mengekornya di belakang.

Di rumahnya hampir selalu ada makanan yang enak dan belum pernah ibunya masak. Walaupun rumahnya hanya rumah panggung yang dindingnya terbuat dari bilik, tapi makanan yang dibawa tamu bapaknya membuat rumahnya seperti rumah orang-orang kaya kota yang penuh makanan yang dibeli di luar.

Mungkin karena banyak mengkonsumsi makanan dan minuma tersebut membuatnya mengalami perubahan homonal. Seperti konsumsi natrium yang tinggi dan konsumsi gula berlebih. Akibatnya, ia mengalami peningkatan retensi cairan atau edema. Sehingga, produksi  cairan dan garam berlebih yang menyebabkan ia sering ngompol saat tidur.

Tapi intinya bukan perihal air seninya yang suka keluar di malam hari saat ia tertidur. Melainkan kisah tentang arwahnya yang berkeliaran dan dipercaya orang-orang menjadi penyebab satu persatu orang yang tinggal di kampungnya mati dengan kondisi yang sama.

Suatu malam saat ia tertidur, ia bermimpi berada di kamar mandi dan sedang mengeluarkan air seninya. Saat matanya terpejam menikmati air yang memancur keluar tiba-tiba kamar mandi yang masuki terbakar. Api seketika menyebar, air yang ada di bak ikut terbakar seolah tidak memiliki harga airnya. Dalam mimpinya ia ikut terbakar di kamar mandi dengan kondisi kemaluan yang masih mengucurkan air.

Di luar, orang-orang mulai mengerubungi rumah itu. Mereka bersiap dengan minyak tanah 20 liter yang di bagi ke dalam 4 jerigen. Satu orang menumpahkan isi jerigen itu di sepanjang tangga dan teras rumahnya. Tiga yang lain masing-masing menumpahkannya di kaki-kaki rumah dan sekeliling dinding. Setelah semua isinya habis tak bersisa, masing-masing mengeluarkan korek api dan melemparkannya.

Api dengan cepat menyala dan membakar rumah beserta isinya yang terbuat dari kayu dan bilik itu. Seolah mendapat tambahan bahan bakar, api dengan cepat menjalar dan membakar rumah. Hanya butuh waktu sekitar 20 menit bagi api untuk menghanguskan semuanya. Beserta tiga orang yang berada di dalamnya, Sansan, ibunya beserta bapaknya.

Setelah puas dengan api yang membakar rumah mereka. Api kembali terlihat membakar saung butut yang ada di kebun belakang. Kini minyak tanah yang di tumpahkan cukup satu jerigen saja. Dan hanya dikerjakan satu orang.

Semua orang yang ada disitu bersorak ria saat rumah dan saung habis terbakar hanya menyisakan abu dan asap yang masih mengepul. Paginya, setelah suhu di tempat itu mereda, mereka mengambil mayat ketiganya yang sudah hangus, yang hanya menyisakan beberapa tulang hitam yang sebagiannya sudah berubah menjadi abu.

* * *

Tak terasa kereta yang aku naiki sudah akan tiba di tujuan akhir. Wanita tadi sudah turun di Stasiun Micahi, menyisakan kami bertiga yang akan turun di tujuan akhir. Pedagang cobek yang tadi menghitung uangnya kini ikut mendengarkan cerita tentang pertunjukan teater tadi. Mungkin ia merasa ceritaku menjadi hiburan baginya sambil menunggu turun.

Selepas keluar dari muka stasiun aku dan temanku berpisah. Ia menaiki ojek untuk pulang ke rumahnya di daerah  Piarakayung, sebelum mengejutkan pengemudi ojek saat ia tiba di depan rumahnya. Sedangkan aku , dan pedagang cobek itu, berjalan kaki menyusuri Jalan Cihaliwung yang hanya memiliki satu jalur ke arah jalan tol, atau berlawanan dengan arahku berjalan.

Nampaknya ia antusias atas cerita pertunjukan teater tersebut. Ia memintaku untuk melanjutkan kembali ceritanya. “Jadi, bagaimana kelanjutannya? Apakah ketiganya menuntus balas saat mereka menjadi roh?”

* * *

Bapaknya yang notabene seorang dukun sudah mengetahui bahwa hal tersebut akan terjadi. Setan yang bersekutu dengannya sudah memberi tahu sejak orang-orang itu merencanakan hal tersebut, seminggu sebelum malam itu tiba. Setan pula yang memberitahunya pada siang sebelum pembakaran dilaksanakan, saat orang-orang itu sudah siap dengan peralatannya. Ia menawarkan bantuan agar rencana mereka gagal.

Nampaknya ia tidak menerima tawaran itu. Ia lebih memilih mengantarkan anaknya untuk moksa, dan membiarkan ia dan istrinya mati sebagaimana yang diinginkan orang-orang itu.

Seperti keinginannya, anak satu-satunya itu ia antarkan untuk moksa saat tertidur. Persis saat ia ngompol sebagaimana mestinya. Meskipun sudah terbiasa karena setiap hari ia ngompol. Tapi melihat air seninya manucr mencoba menerobos celananya membuatnya kaget. Hampir moksa yang ia lakukan untuk anaknya batal, sebelum akhirnya ia kembali fokus untuk mengirim anaknya lepas dari kehidupan duniawi.

Sementara itu, orang-orang mulai berkerumun di luar. Bau minyak tanah tercium olehnya dan sang istri. Setelah anaknya lepas dengan kilauan titik-titik cahaya berwarna merah melayang di udara. Ia dan istri kembali ke kamarnya dan berbaring mengambil posisi tertidur. Walaupun kekuatannya bisa membuatnya tidak merasakan panas api yang membakar kulitnya. Tapi daging yang melekat pada tulangnya tidak demikian. Api tetap membakarnya, hanya keduanya tidak merasakan panas. Mereka pun mati.

Sansan sadar saat ia bisa melayang melihat api yang membumung tinggi di rumahnya. Juga bapak dan ibu mereka yang sempat melambaikan tangannya kepadanya. Ia sedih melihat ibu dan bapaknya mati di depan matanya. Juga sedih saat malaikat maut datang menghampirinya. Dan setan yang diam tak berkutik melihat semuanya. Sebelum mencabut nyawa ibu dan bapaknya, melaikat itu sempat menegur setan yang berada di dekat mereka. Seperti teman lama yang bertemu kembali. Begitu akrab, namun bertolak belakang.

* * *

Begitulah aku bercerita sepanjang jalan menuju rumah. Pedagang cobek itu begitu antusias mendengarnya. Dengan beban cobek yang hilang sebab ludes terjualberganti menjadi uang yang ada di sakunya. Ia berjalan begitu tenang, ceritaku menjadi hiburannya sebelum kembali kerumah dan memberikan uang kepada istrinya. Dan kembali menunduk sebab ia harus kembali memikul beban cobek yang di bawanya esok hari.

Saat tiba di depan rumah, aku pun pamit kepadanya. Tak lupa mengucapkan terima kasih telah mendengarkan ceritaku. Sebab, kini sudah waktunya aku kembali moksa seperti yang aku lakukan saat di Gedung Murentang Siang yang terbakar. Di saat pertunjukan teater tersebut sedang memeragakan adegan pembakaran rumah.

Seluruh pengunjung ikut terbakar di dalamnya. Sementara aku dan temanku memilih untuk moksa. Melayang, melepas ikatan duniawi dan pergi menaiki kereta yang sama saat pagi tadi kami pergi dari rumah masing-masing untuk pergi menonton pertunjukan tersebut.

Sebagai anak yang baik, kami berdua tetap kembali kerumah kami. Kami pulang dan tiba di depan rumah masing-masing dan melihat keluarga di dalamnya.

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali