Ahmadun Faqih

Doni masih mengucek-ngucek matanya saat Kufar tiba-tiba masuk kamar dengan jubah putih dan serban melingkar di kepalanya.

“Apa yang terjadi?” Doni melongo, matanya menatap bingung.

“Panggil aku Ahmadun Faqih sekarang.”

Tak sempat Doni membalas, Kufar atau Ahmadun Faqih hilang di balik pintu. “Mimpi apa aku semalam?” Doni menampar pipi kiri dan kananya, cukup sakit, ia sadar tak sedang bermimpi. “Seperti baru saja terjadi Isra Mikraj, hanya membutuhkan satu malam.”

Semalam Doni tidur lebih awal, sendirian. Kufar, sejak siang berpesan tidak akan tidur di kos malam itu. “Aku ada pertemuan nanti malam.” Tidak jelas pertemuan apa yang dimaksud, tapi itu menguntungkan Doni. Ia tak akan mendengar uikan babi sepanjang malam.

Jika bukan karena harga sewanya jadi lebih murah, Doni tak sudi berbagi kamar dengannya. Uang kiriman orang tuanya di kampung tidak akan cukup jika harus dipakai untuk menyewa kamar seorang diri. Pertemuannya yang tak sengaja di kamar mandi masjid yang tak terkunci membawanya ke kamar yang sudah di tempati Kufar. Sebulan ia hanya mengeluarkan uang 250 ribu. Sisanya ia bisa gunakan untuk makan. Jika untung ia masih bisa jajan di Sarimet sesekali.

Kufar adalah penghuni tetap di kampus. Saat kawan-kawannya sudah pergi ke kota-kota besar, ia masih setia berjalan-jalan di sekitar kampus. Bukan untuk kuliah, biasanya ia datang ke acara-acara diskusi. Doni pernah diajaknya, tapi ia tak sanggup duduk berjam-jam mendengarkan ocehan yang tak dimengerti.

“Aku salut, kau sanggup duduk berjam-jam. Setiap hari. Pantatmu sudah mengeras sepertinya.”

“Aku sama sepertimu awalnya, tapi lama-lama biasa saja.”

“Kau lanjut saja lah itu, aku tidak akan kesana lagi.”

Sudah dua bulan ia tidak datang ke kosnya. Sejak kemunculannya dengan jubah putih dan serban melingkar dikepalanya. Doni kesal, karena uangnya harus dikorek lebih banyak. Kufar pergi meninggalkan kewajibannya.

Doni kini bekerja di salah satu gerai kopi. Pekerjaannya bisa disesuaikan dengan jadwal kuliahnya. Uang yang diterima permiggunya cukup untuk membayar uang kos. “Coba dari awal aku kerja begini, suara babi itu tidak akan pernah menggangguku tiap malam.”

“Sadarlah kawan, apa yang akan kau cari dari bekerja di tempat itu?” Suaranya tak asing di telinga Doni. Ia sedang berjalan seorang diri di jalan pintas menuju kosnya, melewati hutan kota yang gelap.

“Dari mana saja kau? Dua bulan belum bayar uang kos.”

“Malam ini aku akan mengemasi semua barangku.”

Perasaan Doni tak enak. Ahmadun Faqih datang bersama seorang temannya. Pakaiannya sama, memakai jubah dan serban yang melingkar di kepalanya. Hanya saja warnanya biru cerah. “Ini uang bulanan kemarin. Maaf sudah menunggak pembayaran.” Sambil berlalu membuka pintu kamar, “Wassalamu’alaikum.”

Doni menatap pintu di depannya. Tiga bulan lalu ia melihat Faqih hilang di balik pintu. Tanpa mendapat penjelasan apapun, ia dibiarkan berpikir terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Sejak peristiwa itu, suara babi yang menguik tidak terdengar lagi.

Barusan Faqih datang lagi bersama seorang temannya. Tidak banyak perbincangan. Tak ada senyum, atau telapak tangan yang saling bertemu seperti dulu biasa dilakukan. Hampir dua jam Faqih dan temannya sibuk mengemasi barang-barang: buku, baju, celana. Dijejalkan ke dalam dua kardus mie instan dan dua tas punggung besar. Kini ia kembali hilang di balik pintu. Sama seperti pagi saat ia baru bangun tidur dan melihatnya dengan tampilan yang berbeda.

Apa lagi yang terjadi, pikirnya saat kamarnya hening kembali. Rasanya begitu cepat Faqih datang dan pergi. ketika ia baru mau bangkit dari tempat duduknya, tiba-tiba tercium olehnya aroma menyengat yang begitu familier. Ia menolehkan kepalanya mencari sumber wewangian. Matanya tertuju ke amplop yang di berikan Faqih sebelumnya.

Ada lima lembar uang 100 ribu, serbuk kemenyan, dan secarik kertas. Doni bergetar saat membaca isi di dalamnya. Ia seolah tak percaya terhadap apa yang barusan dibacanya. Uang 500 ribu ia ambil, sementara amplop beserta kertas ia remas dan lemparkan ke luar melalui jendela yang terbuka.

Dari lantai 22, Doni menatap lalu lalang kendaraan di bawahnya. Sorot lampu kendaraan, lampu penerangan jalan, dan cahaya dari gedung disekitarnya membuat suasana malam begitu gemerlap. Suara klakson silih berganti membuat sebuah irama lagu. Dari ruangannya, Doni mencium gelagat yang tak biasa. Ia merogoh laci di mejanya, meraba-raba, mencari binokular yang biasa ia gunakan untuk memantau suasana sekitar.

Di sebuah tanah kosong diantara gedung yang menjulang. Ia melihat beberapa orang berkumpul seperti merencanakan sesuatu. Mereka berdiri melingkar, dengan salah satu diantaranya memegang senter yang disorot ke tengah lingkaran yang mereka bentuk. Satu orang nampak sedang jongkok, seperti menjelaskan sesuatu kepada mereka yang berdiri.

Tempat itu begitu gelap, sekelilingnya ditutupi oleh pagar yang dibuat dari seng. Mereka berjumlah enam orang. Sekitar lima menit Doni mengintipnya. Mereka mulai bergerak dan keluar dari tanah kosong itu melalui celah di salah satu sudut.

Satu orang yang sedari tadi jongkok tidak ikut bersama lima lainnya. Ia tetap berada di tempat tersebut. Di jalan yang cukup terang, Doni melihat ke lima orang itu berjalan berlainan arah. Mereka mengenakan jas, tiga diantaranya membawa tas jinjing.

Dari tempat yang sama Doni kembali menggunakan binokularnya untuk melihat aktivitas di tanah kosong. Satu tenda terlihat berdiri di dalamnya. Sepertinya satu orang yang tinggal bermalam disitu, pikirnya.

Dari celah pagar satu orang muncul, kini ia bisa melihat dengan jelas wajahnya. Tubuhnya tidak begitu tinggi untuk ukuran orang Indonesia. Bahkan cenderung pendek. Setelan tuxedo melekat di tubuhnya. Satu orang lagi muncul dari balik tenda. Mengenakan setelan yang sama. Keduanya berjalan beriringan menuju celah pagar.

“Sudah pukul 9.55, Pak. 5 menit lagi rapat dimulai.” Susi, sekretarisnya mengingatkan.

Pukul 10.15, ledakan terdengar memekakan telinga. Kaca di tempatnya rapat pecah berkeping-keping. Sebagian masuk, sebagian lainnya jatuh. Belum sempat ia bangun, ledakan kedua terdengar. Lebih besar. Serpihan kaca mengenai wajahnya.

Terpogoh-pogoh, Doni merangkak menjauh dari dinding kaca yang sudah pecah. Di tengah suasana yang kalut, pikirannya melayang. Ia ingat pesan terakhir yang di tulis Faqih dalam amplop yang berisi uang 500 ribu dan kemenyan. Jangan heran dengan pakaianku. Ini hanya seragam. Aku pun tidak mengerti maksudnya. Nanti kita bertemu kembali, lusa, di Sarimet. Aku sudah tak tahan. Sudah di ubun-ubun.

Doni tertawa lirih, di saat seperti ini, ia masih mengingat Kufar alias Ahmadun Faqih. Yang datang di pagi hari dengan jubah dan serban yang melingkar di leher. Yang datang di malam hari dengan seorang temannya yang memakai jubah dan serban berwarna biru cerah. Yang dua hari setelahnya kembali jajan di Sarimet. Kini di situasi seperti ini, malah Kufar alias Ahmadun Faqih yang ia ingat. Ia kembali tertawa. Lirih.


2 Juni 2020

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali