Cerita-Cerita Saja

/1/
Bagaimana seseorang memutuskan untuk menikah? Aku tebak, mereka memiliki kelapangan hati yang biasa di luar. Sebab, keduanya harus berbagi tempat tidur. Atau berusaha saling memanjakan belut yang menghuni gua-gua di mata air keramat.

Belum lagi perihal pembagian urusan-urusan domestik. Yang biasanya menjadi titik penaklukan satu sama lain. Di ranah domestik biasanya ditemukan perintilan-perintilan kehidupan sepasang manusia yang bertentangan. Hal itu akan mengarah kepada gugatan atau persatuan. 

/2/
Benda itu begitu keras. Akar-akarnya terlihat seperti ingin keluar. Memisahkan diri dari kegelapan. Meskipun di dalamnya begitu kaya akan nutrisi. Baik yang disediakan mekanisme alam maupun yang sengaja disemai yang liyan.

Luarnya kemerahan. Ada pula yang hitam legam. Di sudut lain terlihat seperti putih albino. Tapi, intinya adalah beragam pigmen bisa memengaruhi tampilan pembungkus itu. Samar-samar terdenger obrolan di balik gunung. Semakin jelas suara itu. Tapi semakin kabur obrolannya. Yang terdengar hanya suara yang mirip benturan. Entah benturan apa. Obrolan yang ada itu seperti menggunakan bahasa yang liyan. Dan tiba-tiba saja hilang.

/3/
Gandeng atuh goblog! Aku mendengar suara itu dari balik bukit. Saat orang-oramg berkerumun berusaha membentuk lingkaran yang tak kunjung jadi. Sempat aku bertanya ke rekan di sebelahku. Ia tak mendengarnya. Beberapa yang lain pun sama. Apakah hanya aku yang mendengarnya? Jika demikian, apa maksudnya? Apakah ada pesan yang ingin disampaikan dengan perantara diriku? Aku tidak tahu.

Kayu bakar sudah habis. Pun begitu dengan ban mobil yang sengaja di bawa ke tempat ini. Di antara kebun teh yang sudah tak terawat. Yang biasanya menjadi tempat sepasang muda-mudi memuntahkan energi berlebihnya. Baik siang maupun malam. Kini, aku, beserta rombongan, hadir di tengah-tengah kesunyian. Memecah keheningan. Bersahut-sahutan dengan jangkrik dan tonggeret. Yang entah berada di mana posisi mereka. 

/4/
Bagaimana kiranya hukum disebut hukum? Apakah ada hal lain yang mirip hukum tapi bukan hukum? Siapa sebenarnya yang mengadakan hukum? Apakah perlu hukum? Dan siapa yang menerima hukum itu? Juga, siapa yang menjalankan hukum yang dimaksud? 

Mengapa ada mahasiswa dan mahasiswi hukum? Yang belajar di Fakultas Hukum. Kadang ditambah embel-embel Syariah di beberapa kampus. Ada pula dosen hukum. Para aparat penegak hukum. Yang dihukum, menghukum, membela dengan hukum, menjalani hukum, mengevaluasj hukum, dan lain sebagainya. Jadi bagaimana kiranya hukum disebut hukum? Mengapa bukan sukun saja?

/5/
Wajahnya kasar. Tapi hatinya keras. Di kakinya terjadi perpecahan antar suku. Di perutnya ada simbol-simbol leluhurnya. Seperti bekas cakaran. Di balik lututnya pun demikian. Sebagian masuk ke wilayah betis dan paha. Di dadanya tumbuh buah. Yang anehnya tidak ada masa panennya. Hanya ada waktu untuk memerahnya. Bisa sendiri maupun dengan bantuan yang lain. Melalui corong mungil nan lembut. Maupun corong yang lebar dan kasar. 

Wajahnya begitu kasar. Dengan hati yang begitu keras. Di kakinya terjadi perpecahan antar suku, agama, ras, dan antar-golongan. Di perutnya ada simbol-simbol kenegaraan. Seperti bekas pembantaian. Sebagian terungkap dengan sendirinya, sebagian lainnya karena diusahakan. Ada pula yang entah bagaimana kabarnya. Di dadanya tumbuh buah. Yang bisa dibawa kemana-mana. Di pantatnya tumbuh besi. Yang bisa menahan duduk di kursi pesakitan. Di telinganya tumbuh tembok. Yang menutup gelombang suara. Di matanya tumbuh pagar. Yang menahannya dari dunia luar.




16 Juni 2020

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali