Kecakapan Bertutur Si Maknyus


Kecakapan bertutur yang menyelamatkan –paling tidak menambah– masa hidurp gadis Syahrazad dari hukuman mati atas dirinya dalam Seribu Satu Malam. Bukan waktu sebentar bagi seorang yang menanti kematiannya. Seribu satu malam menjadi malam panjang yang di isi tuturannya dalam menceritakan kisah menarik kepada sang raja, suaminya, Raja Syahriar.

Dengan tuturan yang memukau pendengar –dan pembaca– sebuah tuturan akan berdampak signifikan terhadap keputusan yang vital. Demikian lah bagaimana sebuah cerita di bangun atas tuturan yang terkontruksi secara kokoh dan baik.

Kecakapan bertutur seperti itu pula yang menempatkan Bondan Winarno dalam pembawaannya yang lihai nan menggugah nafsu makan saat kata ajaibnya, maknyus, terlontar dari mulutnya yang baru saja menelan penganan. Generasi 2000an mengenalnya sebagai pembawa acara kuliner. Namun siapa sangka, jauh sebelum itu, ia memulainya sebagai seorang penulis cerita.

Petang Panjang di Central Park merupakan buku kumpulan cerita yang di tulis oleh Mas Bondan kurun waktu 1980 hingga 2004. Berisi 25 cerita pendek yang berlatar kota-kota di dunia. Bermula dari sebuah pameran buku internasional di Frankfurt yang mengantarkannya ke Milan dan Bologna di Italia, hingga makan siang di “Fugakyu”, sebuah restoran Jepang yang jendelanya di lantai lima sebuah gedung terlihat dari Central Park, New York.

Meskipun penggambaran terhadap latar tempat tidak sefokus penceritaan seperti dalam Kota-Kota Imajiner-nya Italo Calvino atau Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai-nya Raudal Tanjung Banua.

Misalnya saat mendeskripsikan perjalanan antara Milan-Bologna. “.... Danau Garda yang indah tersembul ketika bus memasuki kota Salo.... Autostrada (red=jalan bebas hambatan) telah ditinggalkan. Jalanan sempit berkelok-kelok mengikuti garis tepi danau (hal. 5-6).”

Atau deskripsi tentang perbatasan dua negara. “Lupe berhenti di atas pematang tinggi yang menjadi tapal batas Meksiko dan Amerika Serikat. Di bawah pematang itu terbentang kanal kering. Dan sebuah pematang tinggi lain membujur di seberang sana. Cahaya terang menyemburat dari balik pematang tinggi yang lain membujur di seberang sana. Cahaya terang yang menenggelamkan Manuel dalam kemakmuran baru yang dicapainya.(hal. 238-39).”

Dari dua deskripsi di atas, Mas Bondan tidak memokuskan ceritanya kepada tempat yang melatarinya. Di balik itu ada cerita yang hendak di singkap, seperti praktik ‘menyebrangkan’ manusia ke perbatasan yang sering kali merenggut harta, nyawa, juga kedaraan seseorang. Atau perasaan seorang dari penerbitan yang gelora hatinya tak kunjung terbit dalam sebuah perhelatan buku internasional..

Setiap tempat selalu menyimpan cerita. Dan setiap tempat selalu membangkitkan memori luka. Seperti halnya Syahrazad yang tetap bercerita meski luka maut menantinya di depan. Mas Bondan senantiasa menghadirkan cerita dari memori luka yang pernah dan sedang terjadi di suatu tempat.

Dalam “Doa Seorang Perawan” misalnya, bagaimana konflik di Sarajevo bukan hanya menimbulkan bekas bangunan yang rata dengan tanah. Juga menimbulkan trauma yang membekas bagi orang-orang yang tidak pernah ikut campur dalam prahara politik. “.... Sebuah bom meledak di ujung jalan. Lagi! Gegarnya terasa hingga ke relung dada. Terasa sakit di sana. Batinnya terluka. Berapa orang lagi yang akan terkapar di sana? Di ujung jalan itu? berlumuran darah.... Alangkah tipisnya garis yang membedakan kehidupan dan kematian.... Dari Arah bukit, Azra kemudian mendengar rentetan tembakan senapan mesin. Menyalak bertubi-tubi. (hal. 288-89).”

Dari Sarajevo lalu terbang ke Ambon. Dalam “Lenso Mera Deng Lenso Putih”, konflik yang latar belakangnya mencatut agama sebagai biang keladi kembali dituturkan. Ialah antara Si Obet (Robert = kaum nasrani) dan Si Acang (Hasan = kaum muslim), antara Gang banyo di Kampung Waihaong dan Kampung Silale, antara Domingus Kakisina dan Hamidah, juga antara Pendeta Chris Sahalessy dan Haji Idris Attamimi.

Di lain sisi, kita kadang menapikan cerita dekat, cerita yang ide dasarnya datang dari dekat kita, saking dekatnya membuat kita enggan untuk menengoknya. Seolah, ini terlalu klise. Padahal, Mas Bondan memperlihatkan bahwa justru dari orang terdekatlah sebuah cerita hadir dan meledak–dalam arti yang sebenarnya.

Seperti Corazon yang menjadi penyebab ledakan mesiu yang bersarang di dada Bernabe Kalambacal, ayah tiri Corazon, dalam “Hari Penentuan di San Pascual.” Atau seorang pensiunan tentara yang kalah bersaing dengan saudaranya sendiri dalam “Sebuah Rumah Berdinding Batu di Kalipasir.” Atau jalinan kasih –beserta skandal dibaliknya– yang terjadi di keluarga Nyonya Besar dalam “Pada Ulang Tahun Nyonya Besar.”

Satu tema besar yang nampaknya menjadi persoalan abadi dalam sejarah umat manusia: roman-asmara, nampaknya dapat ditarik sebagai benang merah. Tentunya, dibumbui dengan elemen-elemen sejarah pada masanya, corak budaya di tempatnya, dan konflik yang menimpanya. Tak lupa, disusun dengan dramaturgi sedemikian rupa.

Kembali pada kecapakan Syahrazad dalam menuturkan cerita terhadap sang raja, suaminya, yang akan menghukum mati dirinya. Bertutur menjadi titik awal bagi pondasi sebuah cerita. Terlepas dari ruang dan waktu yang membatasi, Petang Panjang di Central Park seaakan berusaha mendobrak batasan tersebut dengan membiarkannya hilang dalam balutan gaya bertutur yang ringan dan sederhana. Juga seperti akhir cerita yang penuh kejutan, pertanyaan dan tiba-tiba hilang, kosong, tak meninggalkan jejak apapun. Pada saat seperti itu lah, maka jurusnya kita keluarkan: maknyusss.


Bondan Winarno | Petang Panjang di Central Park | Noura Books, 2016

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali