Kutukan Perempuan Selatan

Apa yang aku khawatirkan kini terjadi. Berpuluh tahun aku menannti kedatangannya. Dalam kurun waktu itu, aku berharap bahwa itu akan terjadi padaku seorang, bukan orang lain, apalagi menimpa anak sematawayangku. Kini sudah jelas jawabnya. Anakku menjadi pewaris titah Perempuan Selatan.

Usiaku masih lima belas saat ikut mabuk sebulan penuh di tengah laut. Ya, itu benar. Tidak ada yang bisa aku lakukan selama satu bulan itu, selain mengeluarkan sisa makanan yang sudah setengah tercerna dari dalam lambung. Sebagai anak selatan tentu aku payah. Teman-temanku sudah lebih dulu melaut. Usianya lebih muda dariku saat pertama kali terombang-ambing di lautan. Kini bisa kulihat hasilnya, mereka tak sedikitpun terganggu dengan ombak yang mengoyangkan kapal.

“Ini biasa bagi orang yang baru pertama di kapal,” Andi temanku berkarta, “hanya butuh adaptasi beberapa hari sebelum kau akan terbiasa dengan suasananya.”

Kukira ia benar, sebab ia lebih dulu melaut dariku. Tapi prediksinya salah. Sehari, dua hari, tiga hari, bahkan sampai seminggu aku tidak mampu beradaptasi dengan keadaan. 

“Tunggu, beberapa hari lagi.” Iman, temanku yang lain, memprediksi.

“Tidak, kau tidak akan kuat sanpai kapanun.” Kini Ardi yang bersuara.

“Mungkin sebaiknya kau pulang,” Paman Aca berbicara saat kami berkumpul di ruang tidur. “Jika ada kapal lain yang hendak menepi, akan aku titipkan kau untuk kembali kerumah.”

“Tidak Paman, aku masih tetap mau di sini. Apapun yang terjadi aku akan bertahan sampai kapal ini selesai menangkap ikan.” Sergahku saat Paman menyuruhku pulang.

“Selama kau tidak menyusahkan teman-temanmu untuk mengambil makan, minum, atau wadah untuk menampung muntahanmu. Kau boleh ikut melaut sampai selesai.”

“Aku janji, Paman. Aku tidak akan menyusahkan mereka. Aku akan berusaha sendiri, sambil terus beradaptasi dengan gerakan kapal ini.”

“Kalian semua keluar cepat, biarkan dia mengatasinya sendiri.” Iman, Ardi, dan Andi berlalu meninggalkanku. Mereka kembali bergabung dengan yang lain untuk menyiapkan peralatan. 

Aku berhasil bertahan di kapal sampai waktu melaut selesai. Dengan kunang-kunang berkeliaran di kepala dan makanan yang kembali berjalan mundur melewati kerongkongan, mulut sebelum mendarat di panci alumunium yang kini selalu ada di sisiku.

“Mungkin kau satu-satunya anak selatan yang tak punya bakat melaut. Tubuh mudamu ringkih diterpa angin laut. Tak kuat menahan hempasan gelombang selatan.” 

Aku begitu kesal dan malu. Teman-temanku memang tak mengatakan terang-terangan seperti pamanku. Tapi aku tahu dibelakangku mereka pasti menertawakanku.

Kekesalanku bertambah saat mengingat perkataan tetanggaku saat tengah malam kami ribut-ribut di pos ronda. “Woy, hentikan ribut-ribut kalian. Masih mending kalau enak di dengar. Nah, ini ribut ga jelas. Nyanyi suaranya jelek. Main gitar kuncinya gamasuk. Pergi kalian, balik kerumah!.” Tetanggaku, Pak Yanto, meneluarkan kepalanya di celah pintu. Kepalanya yang plontos membuat kami malah makin ribut. Aku, Iman, Ardi, Andi tak urung mengabulkan kata-katanya. Yang ada malah tawa terbahak-bahak keluar dari mulut kami.

“Setan kalian! Dasar anak gelap.” Anak gelap adalah sebutan orang-orang dikampungku bagi mereka yang lahir dari hubungan antara dua orang tanpa status perkawinan. Aku hanya terkekeh mendengarnya.

“Tentu saja kami anak gelap. Karena hari sudah malam. Dan kami anak-anak yang bermain dalam gelap. Emangnya bapak, yang terang sepanjang hari, di bawah sinar matahari maupun sinar lampu.” Kami terbahak-bahak kembali saat Iman dengan enteng membalas perkataan Pak Yanto. Sebelum akhirnya lari terbirit-birit saat ia keluar dengan sapu di tangannya.

***

Pikiranku berkecamuk setibanya di rumah. Perkataan Pak Yanto masih berputar dalam kepalaku. Anak Gelap. Siapa anak gelap yang ia maksud? Pasti ada sebab-musababnya ketika ia berkata demikian. Diantara kami berempat, hanya aku yang hidup tidak bersama kedua orang tuaku. Aku tinggal bersama nenekku. Yang menyusuiku saat kecil adalah bibiku, istri pamanku. Rumahnya cukup jauh dari tempatku tinggal. Rumahku berada di sisi barat, tempat orang-orang bermain pasir pantai, dan sesekali dibawa oleh ombak. Sedangkan pamanku berada di timur, tempat kapal nelayan berjejer di sepanjang garisnya yang dipenuhi bebatuan.

Dikampungku, ada beberapa orang yang dikenal sebagai anak gelap. Miftah misalnya, lelaki yang mati bunuh diri di usia sembilan belas itu adalah salah satunya. Setelah ibunya meninggal. Setelah tujuh hari berturut-turut tetangga memenuhi rumahnya selepas maghrib. Di kamarnya, ia bunuh diri dengan cara menggantung diri.

Selepas kejadian itu, orang-orang mulai membicarakan tentang riwayat ibunya yang diketahui hamil dan melahirkan tanpa ada suami disampingnya. “Itu akibat melakukan hubungan gelap.” Salah seorang berkata demikian. Tak jelas perkaranya apa yang dimaksud hubungan gelap. “Laki-lakinya tak mau bertanggung jawab. Setelah tahu perempuannya hamil. Ia lari begitu saja.” Timpal yang lainnya.

Umurku masih delapan tahun saat itu. Aku belum begitu paham apa kata orang-orang. Yang aku pahami, setiap malam aku akan datang lagi kerumahnya, tujuh hari bertutur-turut, dengan membawa bingkisan saat kembali ke rumah.

***

Rumah di pinggiran kota yang kami pilih. Tidak besar, namun cukup untuk keluarga kecil dengan satu anak lima tahun. Kami mendapatkannya dengan skema kredit, dengan cicilan selama 20 tahun. 

Setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk pergi ke kota. Untuk bertahan di kampungku dengan melaut rasanya tidak mungkin. Beberapa kali sudah kucoba, namun seperti yang pamanku katakan, “Mungkin kau satu-satunya anak selatan yang tak punya bakat melaut. Tubuh mudamu ringkih diterpa angin laut. Tak kuat menahan hempasan gelombang selatan.” Aku menjauh dari pantai, dan mencoba peruntungan di darat.

Semoga peruntunganmu lebih baik di darat. Jangan pernah melakukan perbuatan jahat, apalagi yang sudah jelas aturannya dalam agama. Pesan terakhir neneku sebelum ia meninggal. Ya, pesan itu pesan terakhirnya kepadaku, setahun setelah itu, saat aku kembali untuk bertemu dengannya, mengabarkan tentang peruntunganku di kota. Ia sudah pergi, seminggu setelah kepergianku. Tidak ada yang bisa menghubungiku saat itu.

Dalam gelap, aku kembali ke perantauan. Dengan menumpang bus kota tak jauh dari pasar.

“Aku turut berduka atas kepergian nenekmu setahun lalu.” Seorang lelaki duduk di sebelahku. “Seminggu selepas kepergianmu, nenekmu meninggal, tidak ada yang bisa mengabarimu. Aku pun tidak tahu meskipun setiap hari bulak-balik ke kotamu.”

Lelaki itu tetanggaku. Aneh rasanya, sebab aku tak pernah melihatnya sekali pun. Meskipun kepergiannya setahun yang lalu. Nenek masih ingat untuk memberi bekal ongkos untukku kembali pergi.

***

Usiaku kini empat puluh. Dengan seorang anak gadis yang ranum. Dan adiknya masih  SD kelas 4. Ibunya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, saat melahirkan si kecil ke dunia. Selepas kepergiaan istriku, aku memutuskan untuk bekerja di rumah. Beberapa naskah cerita masuk ke suratku di komputer setiap bulannya. Uang yang aku dapat dari menyunting naskah-naskah itu cukup untuk menghidupi tiga orang dalam rumah ini. 

Sesekali cerita yang aku tulis pun terbit di koran minggu. Lumayan untuk menabung naskah kumpulan cerita.

Petaka itu terjadi saat malam pergantian tahun. Hujan yang mengguyur sepanjang sore hingga pagi membuat pijar-pijar cahaya kembang api di langit berkurang dari biasanya. Letupan-letupan yang menggetarkan dada tidak terdengar keberadaannya. Anak-anak yang terkejut saat kembang api di ujung mulai berpijar memuntahkan api-api kecil. Sebelum redup dalam bekas yang hitam.

Air mulai masuk dari celah-celah pintu dan jendela. Cukup terlambat bagiku untuk menyelamatkan barang-barang elektronik seperti televisi, kulkas dari ruang depan. Air semakin merangsek masuk memenuhi setiap penjuru ruang. Anak-anak berusaha sebisa mungkin untuk pergi ke lantai dua.

Kulihat diluar air semakin deras alirannya. Sebagian berlalu begitu saja di jalanan depan rumah. Sebagian lainnya berbondong-bondong masuk ke setiap rumah. Beberapa tetangga yang bernasib sama kulihat bediri di lantai dua rumah. Beberapa lagi berdiri di atap genteng sebelum melmpati pagar rumah tetangganya.

Menjelang pagi aku baru ingat komputerku di bawah. Bukan komputernya yang aku khawatirkan, melainkan isi di dalamnya. Sebuah cerita yang telah aku tulis dan belum sempat aku simpan di data awan. “Sialan!” Gerutuku saat tahu data itu tak terselamatkan.

Cerita itu aku proyeksikan menjadi naskah cerita panjang pertamaku. Berkisah tentang seorang Anak Gelap yang sejak kecil tinggal dengan seorang perempuan tua. Yang lahir ke dunia akibat hubungan gelap yang dilakukan seorang lelaki bersama Perempuan Selatan. Di tengah malam yang hanya bersinar cahaya bulan. Dan di tengah lautan lepas dengan gelombang yang berombak.

Kini, aku harus menuliskannya kembali. Tidak cukup dengan sekedar mengingatnya kembali. Aku pun harus mengalami inti cerita tersebut. Dan karena cerita ini baru. Maka, alurnya pun berubah. Dari seorang lelaki yang bergaul dengan Perempuan Selatan. Menjadi seorang lelaki yang bergaul dengan turunan dari turunan Perempuan Selatan. Cerita itu berjudul “Kutukan Perempuan Selatan”




26 Juni 2020

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali