Melihat Orang Lain Bekerja

Banyak rebahan, sesekali berdiri, dan melihat orang lain bekerja. Itu yang aku lakukan hari-hari belakangan. Orang-orang yang bekerja di depan mata sendiri, maupun bekerja di lini masa. Banyak orang yang bekerja, bekerja, dan bekerja. Entahlah, apakah ini ada hubungannya dengan Presiden yang suka Kerja, Kerja, Kerja.

Ada yang bekerja menyusun kata-kata. Ada yang bekerja menyusun batu bata. Ada pula yang bekerja serta merta demi memenuhi kebutuhan perut semata. Bekerja seperti menjadi sebuah cita-cita luhur yang patut dijalani oleh setiap orang. Tidak perlu selamanya, minimal dalam hidupnya ia pernah bekerja. Entah di bayar atau pun tidak. Yang pasti: kerja!

Jika bekerja diasosiasikan sebagai kegiatan yang menghasilkan pundi-pundi ‘kekayaan’. Maka, setidaknya aku pernah melakukannya. Aku pernah mengirimkan tulisan ke media dan mendapat bayaran. Pernah menarik tuas gas sepeda motor. Menyusuri jalanan. Dari yag beraspal mulus hingga tanah lumpur. Dari jalanan lebar hingga gang-gang kecil. Hanya untuk mengantar orang maupun pesanan. Ya, aku pernah bekerja sebagai pengemudi ojek dalam jaringan.

Saat musim ‘bisnis’ pemilu. Aku pun pernah bekerja menjadi surveyor. Yang bertugas di daerah lain untuk mensurvei elektabilitas para calon legislatif atau eksekutif. Entah itu sesuai metodologi atau tidak, tapi di situ aku bekerja. Pernah juga berjualan dan dari situ menghasilkan uang. Dan itu berarti bekerja. 

Apakah bekerja hanya dinisbatkan untuk hal-hal yang demikian? Aku rasa tidak. Sebab, banyak hal-hal yang membutuhkan gerak, entah otot maupun otak, dalam melakukannya. Dan tidak selamanya dibayar. Dan aku rasa itu pun bisa dikatakan: bekerja.

Pernah suatu ketika aku memikirkan suatu permufakatan jahat untuk mengerjai adikku. Itu membutuhkan waktu, pikiran dan tenaga. Dan aku bekerja untuk melaksanakannya. Aku tidak dibayar. Tapi, aku bekerja. Jadi, aku bekerja. Meskipun tidak mendapat bayaran. Salah satu nilai tukar dalam kegiatan itu mungkin hanya ‘kepuasan’. Itu pun masih sulit untuk diterjemahkan ke dalam konsep masyarakat umum. Sebab, pengalaman tiap orang berbeda.

Kegiatanku melihat orang lain bekerja pun, aku kategorikan sebagai salah satu bentuk kerja. Sehingga, ketika aku melakukan hal itu, aku sedang bekerja. Dan hal itu bisa aku lakukan semauku. Tidak tergantung jam, seperti orang-orang yang bekerja. Saat aku menggunakan media sosial pun aku bekerja. Saat menulis ini pun aku bekerja. Hingga bisa terbit di blogku, dan mungkin ada orang yang tersesat membacanya.

Tapi, apakah memang bekerja merupakan kewajiban setiap orang? Atau malah menjadi hak. Dan aku pun tidak tahu apakah bekerja merupakan suatu kewajiban atau hak. Jika ada yang tahu, dan membaca ini, mungkin bisa memberitahuku. Setidaknya, ketersesatan kalian yang membaca ini bisa sedikit bermanfaat.

Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya? Aku pernah mendengar kata-kata tersebut. Jadi, wajar jika manusia tidak mau menebar manfaat. Misalnya, segelintir orang Indonesia yang menganggap Orang Asli Papua (OAP) sebagai bukan ‘sesama’, maka jelas mereka tidak akan menebar manfaat. Mengeruk manfaat darinya malah iya. Tapi, untuk menerima manfaat, mungkin tidak. Negara sudah membuktikan itu.

Jadi, apa yang harus saya kerjakan sekarang? Jika kalian punya rekomendasi, sudi kiranya meninggalkan jejak untuk aku baca selanjutnya.

Terima kasih.

Salam.




PTKP, 7 Juli 2020

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali