Paku Emas dan Bendera

Ini perihal salah satu proses dalam membangun rumah. Ya, rumah dalam arti yang sebenarnya rumah. Sebagai tempat tinggal. Sebagai ruang pendidikan pertama.

Banyak metode dalam prosesnya. Dari yang sederhana hingga yang kompleks. Dari yang murah hingga yang mahal. Dari yang kecil hingga yang besar. Pokonya, ada langkah-langkah yang harus ditempuh.

Pun begitu yang terjadi saat–keluarga–aku memutuskan untuk membangun rumah.

Rumah yang kami tempati saat ini adalah milik perusahaan tempat Bapak bekerja. Oktober tahun lalu, bapak memasuki usia pensiun. Itu artinya kita harus segera meninggalkan rumah ini. ada selang satu tahun sejak bapak dinyatakan memasuki pensiun sampai kami pindah ke rumah yang lain. Bisa kembali ke rumah lama, atau membuat rumah baru.

Sebelum pindah ke rumah dinas, begitu biasanya orang-orang menyebut rumah yang diberikan oleh perusahaan untuk di tinggali, kami memiliki rumah. Tidak begitu besar, tapi cukup untuk menampung lima orang yang ada di dalam keluarga.

Kini, keluarga kami memutuskan untuk membuat rumah baru, tidak kembali ke rumah lama. Entah apa alasan utamanya, yang pasti rumah baru kami tidak jauh dari rumah dinas yang kami tempati. Satu rukun warga, hanya beda rukun tetangga. Jarak dari rumah dinas ke calon rumah baru tidak lebih dari 100 meter.

Saat ini, proses pembangunannya memasuki minggu ketiga. Bentuk rumah sudah terlihat. Dinding-dinding yang tersusun dari batako sudah mulai menampakan bentuknya. Sekarang pekerjaan sedang fokus pada bagian atas, membuat susunan kayu untuk menyangga genting. Biasanya disebut suhunan.

Ada hal menarik yang dilakukan kedua orang tuaku. Pertama, mereka mencari bendera. Tentunya bendera merah putih. Mungkin karena kami tinggal di Indonesia. Jika kami tinggal di Jerman maka bukan merah putih yang akan di cari, mungkin. Setelah bendera, mereka memerlukan Paku Emas. Semacam perhiasan yang terbuat dari emas, entah berapa karat, berbentuk paku kecil. Yang nantinya akan ditanam, dipakukan ke salah satu batako. Begitu cerita yang aku dapat.

Sumber informasi yang aku terima terkait hal itu adalah, bahwa apa yang dilakukan dengan bendera dan paku emas merupakan suatu tradisi turun temurun.

“Dari mana tradisi itu?” Tanyaku.

“Dari Emak (nenek),” jawab Ibuku, “supaya rumah ini cerah.”

Aku sendiri tidak begitu mempercayai hal-hal yang seperti itu. Entahlah, mungkin modernisme banyak memengaruhi cara pandang ku terhadap suatu hal. Termasuk paku emas dan bendera.

Aku jadi teringat dua tokoh yang mewakili kisah pembangunan rumah ini. Ia adalah Parang Jati dan Sandi Yuda. Dua tokoh yang muncul dalam Bilangan Fu, yang ditulis oleh Ayu Utami. Parang Jati adalah sosok yang ‘percaya’ ada kekuatan lain yang hidup diluar manusia. Sementara Sandi Yuda ‘tidak percaya’, meskipun belakangan ia mulai menunjukan kesetujuannya terhadap pandangan Parang Jati. 

Bagiku paku emas dan bendera merupakan praktik takhayul, penuh mitos. Dalam ranah ilmu pengetahuan, tentunya tidak ada variabel yang dapat membuktikan kedua benda tersebut berpengaruh kepada ke’cerah’an. 

Sampai saat aku menulis ini. paku emasdan bendera itu belum terpasang. Namun, keduanya sudah siap. Tinggal menunggu hari, saat keduanya akan terpasang di salah satu bagian rumah.

Mungkin ini salah satu bentuk pengetahuan awal dari manusia lahir. Sebuah mitos yang kebenarannya belum tentu dapat dibuktikan, tapi senantiasa dijalankan sampai sekarang. Dan tidak menutup kemungkinan akan terus berjalan sampai batas waktu yang belum ditentukan.



8 Juli 2020

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali