Pendidikan Anti Korupsi dan Budaya Sadar Hukum

Percakapan bersama seorang teman yang baru saja berhak menyematkan label sarjana di belakang namanya berujung pada suatu premis: lunturnya pendidikan anti korupsi dan budaya hukum pada generasi muda. Tapi, apakah yang dimaksud premis itu ketika aku sendiri tidak memiliki pemahaman yang cukup atas perihal yang di bicarakan.

Entah, apakah yang akan saya utarakan di sini bermanfaat bagi Anda yang tersesat membacanya. Tapi, seperti yang sudah-sudah, setiap tulisan yang aku buat tentunya tidak memiliki bobot yang berguna dalam kehidupan Anda. Sebab, aku pun yang menulisnya tidak merasa mendapatkan wahyu yang di turunkan kepadaku untuk membagikannya kepada orang-orang yang tersesat.

Bagaimana bisa orang-orang seperti Anda, seperti temanku tersebut memiliki pemikiran yang begitu mendalam dan filosofis. Apakah hakikat manusia memang lahir sebagai pemikir? Bukankah setiap orang lahir untuk bekerja? Seperti aku, temanku, dan mayoritas para lulusan perguruan tinggi berpikir untuk terjun ke dalam dunia kerja setelah mendapat titel sarjana, master, doktor, profesor dan sederet label lainnya.

Pun begitu yang terjadi di dunia generasi muda kali ini. Setidaknya aku berpikir bahwa setiap manusia itu memiliki hak untuk tidak berpikir. Tidak bekerja. Maupun tidak-tidak lainnya. Seperti Wahyu Sudono yang belakangan aku ketahui merupakan seorang penulis yang memiliki ‘gaya’ selain Goenawan Mohammad, setelah membaca cuitan @fahrisalam di twitter.

Seperti yang sudah aku katakan bahwasanya tidak ada hal yang perlu Anda jadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat manakala hal itu tidak mendukung perkembangan buah zakar Anda, bagi laki-laki. Maupun buah dada Anda, bagi perempuan. Atau buah-buahan yang di tanam oleh para petani di kebun-kebun. Maupun buah-buah yang dihasilkan dari pohon-pohon saham yang ada di SCBD.

Namun, yang patut kita kritisi selanjutnya adalah bahwasanya, aku tidak memiliki apa pun untuk di bagikan kepada Anda yang membaca tulisan ini. Sebelum Anda menyesal terhadap hal yang saya tuliskan, sebaiknya memilih bacaan yang lebih bermutu, bermanfaat dan memiliki dampak kepada kehidupan Anda sekalian.

Lantas, apakah judul berpengaruh kepada kehidupan seekor kura-kura yang sedang mencoba menggapai garis finish? Aku rasa tidak. Mengapa demikian? Sebab, tempurung yang ada di balik punggungnya merupakan suatu benalu yang menghambat dalam kehidupan perikura-kuraan. Anda tahu bahwa ada sebuah buku setebal 960 halaman, yang berjudul Kura-Kura Berjanggut. Yang ditulis oleh seorang sastrawan berkebangsaan Aceh. Namun, buku itu laris di pasaran orang-orang berkebangsaan Indonesia.

Dari Kura-Kura Berjanggut, kita akan menemukan bahwasanya Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi adalah novel yang di tulis oleh editornya. Ya, Yusi Avianto Pareanom, seorang pencerita yang begitu lihai menempatkan kata-kata dalam dongengnya. Teman Yusi, bernama A.S. Laksana pun demikian hebatnya dalam menempatkan kata apa sebelum kata apa maupun setelah kata apa. Cerita-cerita yang ia tulis begitu menarik untuk di baca.

Nah, jika kalian kebetulan bertemu dengan seorang penulis medioker bernama Taufan Sopian Riyadi a.k.a Hadiwijaya, maka Anda cukup meludahi tulisannya dan tidak perlu membacanya sampai selesai. Tapi, jika Anda sudah membaca bagian ini, maka Anda bisa meneruskannya sampai bagian akhir. Sebab, Inilah bagian akhir dari tulisan yang tidak nyambung itu. Sebuah rangkaian kata-kata yang tidak memiliki manfaat yang berarti bagi penulisnya maupun pembacanya.

Terima kasih telah membuang waktunya untuk membaca ini. Mohon maaf karena beberapa saat waktu Anda, aku curi secara sengaja. 

Jangan kapok.

Salam.




Kosan Domba, 10 Juli 2020

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali