Tukang Tulis Budek

Aku ingat saat malam hari sampai di kota itu. Tak ada orang yang menyambut. Tak ada sanak saudara yang akan datang meregangkan tangan dan memelukku. Aku datang seorang diri. Tanpa ada undangan. Meski, tenda biru di sisi terminal berjejer sepanjang trotoar.

Aku berjalan berdampingan dengan motor dan mobil. Untungnya hari sudah malam. Tak terlalu banyak kendaraan yang lalu lalang. Aku bayangkan betapa sulitnya jika harus berjalan di siang hari, di aspal yang sama dengan kendaraan itu. Belum lagi rombongan pesepeda musiman yang memakan badan jalan.

Di salah satu tenda biru yang cukup jauh dari terminal, kulihat seorang tua sedang menulis di sebuah buku. Seperti buku yang aku pakai saat sekolah dulu. Hanya saja ini sangat tebal. Ukurannya mungkin 14x20 sentimeter. 

Tidak seperti tenda-tenda lain yang menjual makanan dan minuman. Di tenda itu hanya terdapat sebuah meja sepaket dengan kursi yang tengah di duduki seorang tua itu. Tangannya memegang pena. Beberapa lain tergeletak di sebelahnya. Kulihat isinya sudah habis dari tubuh pena yang terawang.

"Selamat malam, Pak." 

Tak ada jawaban. Ia tetap fokus pada buku yang telah ia kotori dengan tinta hitam itu.

"Permisi, Pak." Kembali aku menyapanya, kali ini sambil menepuk bahu kirinya.

"Ada yang bisa saya bantu? Maaf saya tidak bisa mendengar."

Apa yang sedang Bapak kerjakan? Aku menulis di secarik kertas yang nampaknya disediakan khusus olehnya untuk berkomunikasi dengan orang lain.

"Saya seorang Tukang Tulis. Setiap hari saya menyalin pesan orang-orang yang tidak bisa menulis dengan indah. Orang-orang menganggap tulisan saya indah, entah sebabnya apa, aku tidak tahu."

Tukang Tulis Budek itu setiap hari, sepanjang malam, bekerja di bawah tenda itu untuk menyalin pesan orang-orang yang tidak bisa menulis. Dari pesan tentang cinta hingga pesan tentang duka cita.

Pelanggannya dari orang yang tak pernah merasakan bangku sekolahan sampai pejabat yang hobi mengambil jatah orang-orang.

Sebelum berlalu, aku memintanya menuliskan pesan yang ingin aku sampaikan. 

Apa yang membuat dirimu ragu?
Bagiku, keraguan dalam diriku adalah kehidupan yang mati dan kematian yang hidup.

Tolong tuliskan itu. Seindah tulisan yang pernah Bapak tulis sebelumnya. Buat agar Tuhan bisa membalasnya tak kalah indah. Setelah itu tolong kirimkan pesan itu kepadaNya. Aku menunggu balasannya sesegera mungkin. Ini ongkos jasa dan biaya kirimnya. Terima kasih.

Setelah menulis maksudku kepadanya, aku berlalu. Meninggalkan tenda biru di sudut jalan, menyebrangi zebra cross. Sebelum aku sampai di sebrang, Ninja yang tidak bertopeng mendekatkan tubuhnya kepadaku. Aku terbang dan segera bertemu dengan Kijang yang melesat di sisi lainnya. 

Begitu cepat balasannya. Tukang Tulis Budek itu sangat profesional.





*Cerita ini terinspirasi setelah membaca "Tukang Cerita Buta" yang terdapat dalam buku Kisah-Kisah Kecil dan Ganjil: Malam 1001 Pandemi karya Agus Noor.

Kosan domba, 13 Juli 2020

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali