Yang Memberi Semangat: Tulislah Meskipun Buruk!

Dokumentasi Pribadi

Tips utama sebelum Anda membaca novel ini adalah pastikan diri Anda sudah mabuk, semabuk-mabuknya. Sebab, dengan begitu Anda tidak akan mengalam apa yang Andi Lukito rasakan saat ‘menyunting’ naskah ini. Jika, Andi Lukito mengatakan bahwa novel ini disusun dengan gaya bahasa seorang pemabuk, maka sebelum Anda membacanya pastikan diri Anda mabuk agar tidak menemukan gaya bahasa seorang pemabuk seperti yang ditemukan Andi Lukito.

Sebagai sebuah buku yang mendeklarasikan dirinya sebagai novel. Hal pertama yang saya alami adalah saya dibuat mabuk, sama seperti yang Andi Lukito rasakan. Jika Anda berpikir bahwa suatu novel pasti tersusun berdasarkan kaidah-kaidah umum yang berlaku seperti: plot, tokoh, konflik, latar, dan tektek-bengek lainnya. Yang membuat suatu buku disebut novel, maka tidak dengan novel yang di tulis Martin Suryajaya ini.

Buku yang cukup tipis, hanya 216 halaman. Namun, butuh begitu banyak waktu yang saya perlukan untuk menyelesaikannya. Catatan saya, yang terdapat dalam aplikasi Goodreads, novel ini saya baca sejak 10 Mei 2020 sampai 4 Juni 2020. Dalam satu kali pembacaan biasanya saya hanya membaca satu sub-bab yang ada. Tidak lebih. Dan itu yang dikemudian hari saya rasakan sebagai suatu kesalahan: memikirkan apa yang barusan saya baca. Itu adalah kesalahan terbesar saat saya membaca novel ini. Dengan begitu, setiap kali saya selesai membaca satu sub-bab maka pikiran saya entah kemana.

Saat tiba saatnya saya mengakhiri buku ini, pikiran saya terhadap suatu bentuk novel luluhlantah seketika. Novel ini setidaknya memberi tahu bahwa begitu sedikitnya referensi kesusastraan yang saya ketahui. Jangan jauh-jauh untuk memahami, tahu saja tidak. 

Sebagai sebuah novel yang ‘tidak lazim’, begitu saya menyebutnya. Martin sungguh memiliki semangat yang ekstra di banding menulis tema-tema filsafat yang menjadi bidangnya. Membuat suatu tulisan yang ‘disengaja’ seolah buruk, tidak jelas, dan predikat negatif lainnya, saya rasa lebih sulit. Sebab, sebelum tiba pada tujuan buruk, tidak jelas, dll. Maka, penulis harus mengetahui terlebih dahulu yang bagusnya seperti apa. Sebelum akhirnya dibelokkan menjadi hal yang dituju tersebut. Belakangan, saya mengetahui bahwa mungkin novel ini bisa dikatakan sebagai novel obskur.

Dan novel ini pula yang membawa saya kepada penjelajahan dan percobaan terhadap tulisan ‘buruk’. Beberapa kiriman blog saya sebelumnya adalah hasil imajinasi saya terhadap apa yang Martin lakukan terhadap eksperimen novelnya ini. 

Satu hal yang kentara bagi saya dari upaya Martin ini adalah usaha untuk tertawa berlebih, entah itu tertawa dari sisi penulisnya maupun pembacanya. Di beberapa bagian hasrat untuk menimbulkan gelak tawa itu ada, namun jika dilihat dari keseluruhan, seolah ada upaya ‘memaksakan’ pembaca untuk tertawa.

Catatan kaki yang digunakan, yang merujuk kepada judul-judul buku/tulisan yang di plesetkan. Para penulis yang merupakan hasil plesetan, begitupun dengan karya-karya yang dikutikpnya. Hal itu, saya rasa merupakan usaha Martin untuk membuat ‘perbedaan’ dari tulisannya. Selain tentu saja aspek-aspep umum sebuah novel yang tidak ada.

Karena novel ini ditulis dengan cara dan bentuk yang berbeda. Maka, proses pembacaannya pun harus dilakukan dengan cara yang tidak biasa. Jika biasanya kita akan terbawa oleh jalannya cerita dari novel yang kita baca. Di sini, kita yang akan membawa kemana kalimat-kalimat yang ada di dalam novel ini. Bahkan, Manneke Budiman, dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan di Komunitas Salihara, saya menontonnya di Youtube, menjelaskan bahwa membaca novel Martin ini cukup hanya membaca daftar isinya saja. Sebab, dari daftar isi inilah setidaknya kita masih bisa membayangkan sesuatu diluar novel, di dalam kehidupan. Begitu Anda masuk ke dalam kalimat pertama isi novelnya. Maka, jangan harap Anda menemukan ‘pencerahan’ dari novel itu sendiri.

Membaca novel ini pula yang mebuat saya sedikit merasa senang sebab ada orang lain yang menulis ‘buruk’. Bedanya, Martin menulis buruk dengan cara-cara yang luar biasa. Sedangkan saya, menulis buruk karena memang buruk saja tulisannya. Bukan sengaja diburuk-burukan untuk mengejar titel ‘obskur’.

Terima kasih Martin. Karena membuka gerbamg tulisan buruk saya. Ditunggu puisi-puisi obskurnya yang sebentar lagi terbit.




2 Juni 2020

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali