Kubiarkan Duduk Tak Banyak Warna

Kubiarkan menghitam, legam. Diterpa angin dan hujan. Disengat terik siang bolong. Hati tak bisa membiarkan hal itu terjadi. Gengsi menghambatnya. Belum lagi cibiran dan omongan orang-orang. Semakin tak bisa memiliki pendirian. Terhadap persoalan, yang muncul belakangan.

Duduk diam. Berdiri mematung. Berjalan sempoyongan. Merangkak tak karuan. Sedikit demi sedikit bertambah. Tak bisa mengharapkan semua pihak. Terdepan, terluar, dan tertinggal. Ditinggal, dibuang, dan dicampakkan.

Tak banyak warna dalam hidup. Tak banyak irama dalam bernafas. Tak banyak aroma yang bisa tercium. Tak banyak rasa yang bisa dirasa. Akankah menyatu sedemikian rupa? Jam dinding akan berupaya mencarj jawabnya. Lewat sepatu, celana, baju, topi dan ransel.

Satu-satu pergi. Meninggalkan gemerlapan yang tak pernah melihat waktu. Siang dan malam tak ada bedanya. Semua berjalan sedia kala. Tiap orang memiliki tugasnya masing-masing. Tiap orang memiliki kelasnya masing-masing. 

Kendati demikian, tak banyak yang perlu dirisaukan. Aku dan semua orang. Sedemikian rupa tak pernah menyalahkan. Antara satu dan dua dan seterusnya. Antara puja, puji, dan caci maki.

Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Hidup!




8 Agustus 2020

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali