Puncak Bukit

Aku berdiri sendiri di atas bukit yang tidak begitu terjangkau pandangan kamera fotografi. Bukit yang sejak kecil aku daki bersama kawan-kawanku. Pagi hari dan sore hari. Berbaring memandang ke arah barat. Melihat surya yang mulai menerangi belahan bumi bagian barat.

Kini aku kembali ke tempat ini. Tempatku dan kawan-kawan berbaring sudah tidak ada. Bukit ini kini tinggal sisa-sisa dari penambangan pasir. Entah berapa tahun lagi bukit ini akan habis. Apakah orang-orang kota begitu serakah sampai bukit yang jauh dari keramainnya pun mereka babat habis. Tidak ada lagi tempat untuk bermain. Tidak ada lagi tempat untuk berbaring menunggu perpindahan waktu.

Aku sendiri. Berdiri di titik yang saat ini menjadi puncak bukit ini. Dulu, ini hanya jalan menuju puncak. Yang jaraknya menuju puncak tinggal sepertiga lagi. Kini tempat yang aku pijak ini sudah menjadi titik puncak bukit. Sebelah bukit sudah hilang. Hanya setengahnya yang masih terlihat seperti bukit.

Pernahkah aku merasakan takut akan kehilangan bukit ini? Aku tidak tahu. Perasaan kehilangan itu muncul hanya ketika aku kembali berdiri di sini. Sebelumnya, tidak pernah aku merasakan hal demikian. Kehidupanku di kota dengan segala tektek bengek perkotaan membuatku luput akan tanah kelahiranku sendiri. Tanah yang setiap hari aku pijak dan kelak akan membentuk bagaimana aku menjadi manusia.

Aku terlalu polos. Dengan memercayakan tempatku bermain saat kecil kepada orang lain. Kepada orang-orang yang datang menawarkan manfaat bagi warga desa. Tapi nyatanya mereka merampas apa yang dimiliki desa. 

Mata air kini berkurang jumlahnya. Beberapa menjadi milik perusahaan-perusahaan air minum yang setiap hari aku temukan di tempat kos. Aku pun mengkonsumsi air tersebut. Air yang dulu melimpah bagi warga desa, kini sulit didapatkan oleh warga sendiri.

Pengalaman kepanitiaan yang aku dapatkan selama di kampus tidak cukup untuk mengembalikan bukit ini. Pengalaman mengikuti organisasi tidak pula dapat menyelamatkan bukit ini dari kehancurannya. Waktu yang aku buang untuk mengerjakan itu semua kini harus dibayar dengan bukit yang hilang.

Dari empat orang yang dulu setiap sore berbaring di sini. Kini tidak ada satu pun yang bisa berbuat apa-apa terhadap tempat bermainnya.  Masing-masing telah sibuk dengan dunianya. Dunia ya g memaksanya untuk selalu produktif membuat produk tertentu. Atau berkeliling menawarkan jasa apa pun yang bisa dikerjakan.

Aku pun demikian. Tidak ada waktu yang aku langkan untuk menengok tempat itu. tempat yang sebentar lagi akan hilang. Tidak ada balapan lari menuju puncak bukit. Tidak ada permainan menuruni bukit dengan meluncur menggunakan pelepah pohon kelapa. Semuanya hilang. Semuanya tinggal kenangan.

Dan aku hanya bisa berdiri di bukit ini. Mematung. Menjadi pecundang, tanpa bisa melakukan apa-apa.





11 Agustus 2020

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali