Merekatkan Keislaman dan Keindonesiaan melalui Pendidikan Kewarganegaraan

Sumber Gambar: sorotindonesia.com
Secara empirik, masyarakat Indonesia adalah sebuah masyarakat yang majemuk (plural society). Masyarakat majemuk didefinisikan sebagai masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen atau tatanan sosial yang hidup berdampingan, namun tanpa membaur dalam satu unit politik yang tunggal. Indonesia bukan saja negara yang berada dalam pusaran multietnis (seperti Dayak, Bugis, Sunda, Jawa, Batak, dan seterusnya), tetapi juga menjadi medan pertarungan pengaruh multimental dan ideologi (seperti Hinduisme, Budhisme, Islam, kristen, Kapitalisme, Liberalisme, dan seterusnya).

Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk itu, ada dua istilah yang penting dipahami yaitu kemajemukan (pluralitas) dan keanekaragaman (heterogenitas). Pluralitas sebagai kontraposisi dari singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan. Artinya dalam masyarakat Indonesia dapat dijumpai berbagai subkelompok masyarakat yang tidak bisa disatu kelompokan satu sama lain. Sementara heterogenitas yang merupakan kontraposisi dari homogenitas mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidaksamaan dalam unsur-unsurnya. Artinya masing-masing subkelompok masyarakat beserta kebudayaannya bisa sungguh-sungguh berbeda satu sama lain.

Secara geografis Indonesia adalah bangsa muslim terbesar di dunia. Namun secara religio-politis dan ideologis Indonesia bukan negara Islam. Indonesia adalah negara yang berideologi pancasila, yang dipandang sebagai jalan tengah antara gagasan nasionalisme sekuler dan gagasan negara islam.

Munculnya perbedaan-perbedaan umat tidak terlepas dari realitas keindonesiaan yang pada dasarnya sudah memiliki sekat-sekat kedaerahan. Sebagai ekspresi budaya maka Islam di Indonesia muncul dengan keanekaragaman wajah. Keanekaragaman ini sebagai akibat yang logis dari perjalanan panjang sejarah Indonesia dan itu harus diakui sebagai suatu hal yang alamiah. Namun yang perlu dijaga oleh segenap bangsa khususnya kaum muslim ialah keanekaragaman ekspresi keislaman jangan sampai merusak ketauhidan dan persaudaraan universal. Pluralisme budaya, suku, bahasa, ras dan agama di Indonesia merupakan unsur kekayaan bangsa Indonesia dalam merekatkan persatuan nasional. Namun, apabila hal tersebut tidak bisa dianyam secara arif dan bijaksana, kekayaan tersebut akan menjadi bumerang bagi Indonesia sendiri.

Pluralisme harus diarahkan kepada adanya suatu konsensus nasional, yakni pemusatan pandangan ke arah satu titik yang sama menuju persatuan Indonesia. Sehinnga akan muncul kehidupan kosmopolit, yaitu suatu tata pergaulan keindonesiaan baik lahiriah maupun batiniah dengan wawasan luas, meliputi seluruh masyarakat. Kosmopolitanisme akan menjadi semangat bagi nilai-nilai keindonesiaan karena budaya Indonesia ialah rangkuman dari berbagai budaya daerah.

Nilai-nilai keindonesiaan yang kosmopolit dapat tumbuh dengan dua cara yaitu cara pasif dan aktif. Pertumbuhan nilai-nilai keindonesiaan melalui cara pasif mengikuti irama perjalanan dalam diri masing-masing. Pertumbuhan nilai ini meskipun berasal dari interaksi dalam masyarakat, dapat dibidas dengan sengaja oleh berbagai kepentingan. Maka cara kedua yaitu aktif perlu dikembangkan. Karena dengan cara aktif inilah pertumbuhan nilai-nilai keindonesiaan tidak diserahkan kepada masing-masing individu yang bersifat aksidental, tetapi disertai usaha kreatif dari segena bangsa indonesia dalam mewujudkannya.

Dalam mengintegrasikan antara keislaman dan keindonesiaan pendidikan kewarganegaraan mengambil peran dalam memberikan pemahaman faktual sekaligus aktual tentang posisi Indonesia saat ini. Pendidikan kewarganegaraan merupakan pelajaran yang dapat menumbuh kembangkan potensi Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia yang dapat diterima oleh seluruh warganya. Dimana secara garis besar tujuan dari pendidikan kewargengaraan sendiri ialah to be a good citizenship serta to be better living together.

Pendidikan kewarganegaraan sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah saat ini harus mampu mengarahkan siswa dalam pembentukan karakter, dimana substansi pembelajarannya mulai mengarah pada bagaimana menjadikan warga negara khususnya umat islam yang mampu berpartisipasi secara efektif, cerdas dan bertanggung jawab. Terdapat dua sasaran pokok dari pendidikan kewarganegaraan. Pertama, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa tentang etika, moral, dan asas-asas dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua, membentuk sikap, perilaku, dan kepribadian sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Kedua sasaran ini hendaknya dapat dicapai secara holistik agar siswa tidak hanya memahami keilmuan belaka, tetapi memiliki kemampuan dalam mengimplementasikan konsep-konsep yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.

Konsep dasar pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan karakter dimulai dari bagaimana pendidikan nilai bisa diterapkan. Artinya bahwa substansi nilai tidaklah semata-mata ditangkap dan diajarkan tetapi lebih jauh, nilai dicerna dalam arti lengkap, diinternalisasi, dan dibakukan sebagai bagian yang melekat dalam kualitas pribadi seseorang melalui proses belajar. Pendidikan kewarganegaraan menjadi wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral karakter  yang diwujudkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari dalam menguatkan karakter umat islam dalam kemajemukan masyarakat Indonesia.

Dalam rangka menguatkan karakter warga negara khususnya karakter umat islam dalam bingkai keislaman dan keindonesiaan. PKn sebagai suatu program pembelajaran dalam pelaksanaannya di sekolah harus sesuai dan dapat mengembangkan konsep besar pendidikan kewarganegaraan yaitu, civic knowledge, civic values dan civic skills.

Civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), mencakup bidang politik, hukum dan moral. Materi pengetahuan kewarganegaraan terdiri dari pengetahuan pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintahan dan non pemerintahan, identitas nasional, pemerintahan bergasarkan hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, sejarah nasional, hak dan kewajiban warga negara, hak asasi manusia, hak sipil dan hak politik.

Civic values (nilai-nilai kewarganegaraan), terdiri dari percaya diri, komitmen, penguasaan atas nilai religius, norma dan moral luhur, nilai keadilan, demokratis, toleransi, kebebasan individu, kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan perlindungan terhadap minoritas.

Civic skills (keterampilan warga negara), mencakup keterampilan partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, misalnya berperan aktif dalam mewujudkan masyarakat madani, keterampilan mempengaruhi dan monitoring jalannya pemerintahan dan proses pengambilan keputusan politik, keterampilan memecahkan masalah sosial, keterampilan mengadakan koalisi, kerjasama dan mengelola konflik.

Ketiga konsep yang harus dicapai melalui pendidikan kewarganegaraan tersebut, tentunya memerlukan upaya komprehensif dalam mencapainya. Pembelajaran pendidikan kewarganegaraan selama ini terfokus pada penguatan civic knowledge saja, sehingga upaya pembentukan karakter siswa sebagai warga negara umumnya kurang optimal. Padahal pendidikan kewarganegaraan seyogyanya bukan hanya sebagai proses pendidikan berpikir, melainkan pendidikan yang menuntut untuk penerapan nilai-nilai dan pengembangan watak dari warga negara itu sendiri. Upaya mencapai tujuan pendidikan kewarganegaraan tersebut diperlukan upaya pembiasaan melalui internalisasi dan aplikasi dari civic knowledge, civic values dan civic skills.

Pada masyarakat majemuk, proses pembelajaran diharapkan mampu memfasilitasi siswa dari berbagai latar belakang untuk dapat mengembangkan dirinya sebagai warga negara yang mampu menghargai, menghormati dan bekerjasama dengan orang/kelompok dari latar belakang berbeda, baik di lingkungan sekolah maupun luar sekolah. Pendidikan Kewarganegaraan berusaha mewujudkan hal tersebut melalu konsep civic knowledge, civic values dan civic skills. Sehingga, dalam kemajemukan tersebut terbentuk sinergitas antar kelompok sebagai cerminan dari nilai-nilai keindonesiaan.

Peran pendidikan kewarganegaraan dalam hal ini adalah sebagai wadah bagi masyarakat dan generasi muda khususnya dalam memahami hakikatnya sebagai warga negara. Pendidikan kewarganegaraan harus bisa melakukan tugasnya dalam mencapai tujuan membentuk warga negara yang baik. Masyarakat muslim sebagai kelompok mayoritas di Indonesia sudah seharusnya mengambil peran lebih dalam kemajemukan masyarakat Indonesia.  Melalui pendidikan kewarganegaraan di sekolah-sekolah diharapkan dapat menghasilkan generasi muda islam yang berkarakter.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali