Politik Etis : Celah Yang Dimanfaatkan Bangsa Indonesia

Sumber gambar : wikimedia.org
Pertama dan yang utama kita patut bersyukur Kepada Allah Subhanahuwata’ala, bahwa sampai saat ini bangsa Indonesia dapat tumbuh dan berkembang menjadi sebuah bangsa yang besar, tidak hanya besar dalam hal geografisnya, namun pemikiran-pemikiran masyarakatnya.

Kebesaran bangsa tersebut tidak terlepas dari peran dunia pendidikan yang sejak zaman Belanda mulai membuka celah bagi kaum pribumi untuk duduk di bangku persekolahan. Adalah “Politik Etis” (Etische Politiek) yang diterapkan oleh pemerintahan kolonial Belanda, atas desakan kaum terpelajar di Eropa kepada para penduduk jajahan. Dengan politik etis itu, rencana pendidikan modern (Belanda) mulai dirancang.

Sebagaimana kita tahu bahwa pada masa pemerintahan kolonial Belanda, berlaku stratifikasi terhadap penduduk di tanah jajahan. Stratifikasi tersebut menentukan tinggi-rendah derajat masyarakat kala itu. Berturut-turut dari tingkatan atas hingga bawah ialah penduduk Eropa, lalu disusul golongan penduduk “Timur Asing” ( Arab dan Cina), kemudian “Aristokrat Pribumi” (Priyayi) dan terakhir rakyat umum lainnya.

Pendidikan Zaman Kolonial Belanda
Startifikasi tersebut menentukan jenis sekolah sesuai dengan golongannya. Untuk golongan Eropa tersedia ELS (Europese Lageree School-Sekolah Dasar Eropa). Golongan Timur Asing tersedia HAS (Hollands-Arabische School-Sekolah Belanda Arab) dan HCS (Hollands-Chinesche School-Sekolah Belanda Cina). Golongan Aristokrat Pribumi tersedia HIS (Hollands-Inlandse School-Sekolah Belanda Pribumi). Terakhir, untuk rakyat umum tersedia Volkschool (Sekolah Rakyat), di tingkat desa dan Vervolgschool (Sekolah Rakyat Lanjutan), di tingkat kecamatan.

Selain sekolah-sekolah tersebut di atas, terdapat sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas, tetapi tidak semua orang dapat memasukinya, hanya kalangan-kalangan terpilih lulusan sekolah elite, ELS, HAS, HCS, dan HIS saja yang memiliki hak untuk melanjutkan sekolah. Sementara, untuk rakyat umum persis setelah Vervolgschool tidak ada lagi tempat pendidikan formal yang dibuka.

MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs), yaitu pendidikan dasar umum lanjutan, yang kemudian terbagi antara pendidikan umum, AMS (Algemene Middelbare School) dan pendidikan khusus, seperti HBS (Hogere Burgerlijke School) dan OSVIA (Opleiding School voor Inlandse Ambtenaren), yang menghasilkan pegawai pemerintahan kolonial. Juga ada sekolah menengah atas pertanian, MLS (Middelbare Landbouw School) yang merupakan cikal bakal lahirnya IPB. Juga disediakan sekolah-sekolah pendidikan guru, HIK (Hollands-Inlandse Kweekschool) dan satu jenis sekolah yang disebut Noormal School, yang merupakan cikal bakal lahirnya SPG (Sekolah Pendidikan Guru).

Tidak hanya pendidikan dasar dan menengah. Politik etis pun merambah dengan pembukaan lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Indonesia kala itu. THS (Technise Hoge School-kini ITB) di Bandung. GHS (Geneeskundige Hoge School-kini FK UI) di Jakarta. RHS (Recht Hoge School-Sekolah Tinggi Hukum, kini dipecah menjadi beberapa fakultas, hukum, ekonomi, ilmu sosial dan ilmu politik dalam lingkungan UI) di Jakarta. STOVIA (School tot Opleiding voor Indlandse Artsen-Sekolah Persiapan Dokter Pribumi atau “dokter jawa”) di jakarta, dan NIAS (Nederlands Indise Artsen School-Sekolah Dokter Hindia Belanda, kini FK UNAIR) di Surabaya.

Lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang telah disebutkan di atas merupakan buah hasil diberlakukannya Politik Etis kala itu. Golongan Eropa, Timur Asing, serta Aristokrat Pribumi berhak untuk mengenyam pendidikan tinggi tersebut. Sementara untuk rakyat umum hanya tersedia Sekolah Rakyat dan Sekolah Rakyat Lanjutan.

Memanfaatkan Celah Politik Etis
Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa buah hasil dari politik etis tersebut adalah adanya sekat-sekat yang membatasi antar golongan penduduk, utamanya yang dialami oleh golongan rakyat umum. Namun, golongan Aristokrat Pribumi tidak hanya berdiam diri, melalui kesempatannya, mereka bisa melakukan suatu pergerakan-pergerakan yang menyatukan golongan-golongan pemuda kala itu. Seperti yang dilakukan para pemuda di STOVIA, dr. Wahidin Sudirohusodo dan dr. Sutomo yang berhimpun dalam naungan Budi Utomo. Budi Utomo menjadi pemantik bagi golongan priyayi lainnya untuk berkumpul, sehingga munculah perkumpulan pemuda yang lekat dengan unsur primordialisme seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Islamieten Bond.

Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh perkumpulan pemuda tersebut yang mendorong terbukanya celah tersebut menjadi sebuah keran yang secara perlahan membuka sedikit demi sedikit, sehingga bukan hanya golongan priyayi tapi rakyat umum pun dapat menikmati kebebasan yang lebih besar dari sebelumnya, yang memunculkan semangat nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia.

Dalam dunia intelektualpun berkembang SISC (Studenten Islam Studies Club) yang kelak melahirkan kaum-kaum intelektual Masyumi. Bukan hanya di Indonesia, kaum-kaum intelektual betebaran ke berbagai negeri, utamanya Belanda, dimana para pelajar Indonesia mengeyam pendidikan disana. Mohammad Hatta misalnya, walaupun nun jauh di negeri Belanda, semangat nasionalismenya tidak pernah luntur, Melalui Perhimpunan Indonesia ia terus melontarkan gagasan-gagasan kebangsaanya. Hingga akhirnya dalam peristiwa yang terjadi pada 28 Oktober 1928, yaitu Sumpah Pemuda. Dimana para pemuda menyepakati suatu konsesnsus akan sebuah negara-bangsa, yaitu Indonesia yang bertumpah darah, berbangsa dan berbahasa yang sama.

Refleksi Hari Ini
Hari ini, dunia pendidikan Indonesia mulai menuai hasilnya. Politik etis setidaknya membuka kesempatan bagi para pemuda kala itu untuk memperjuangkan hak-hak dasar sebagai manusia, utamanya dalam hal pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa para intelektual banyak lahir pada zaman itu. Soekarno, Hatta, HAMKA, Natsir, merupakan sedikit contoh pemuda-pemuda yang berkembang pada saat politik etis dijalankan.

Pendidikan tinggi khususnya, hari ini telah menjadi daya tarik bagi para pemuda untuk mengembangkan dirinya. Setiap tahun berbondong-bondong para pemuda untuk mengejar bangku kuliah di perguruan-perguruan tinggi favorit di Indonesia. Maka, perguruan tinggi pun semakin “berbenah” dalam menyambutnya. Peningkatan kualitas pendidikan, infrastruktur, akreditasi, publikasi adalah beberapa komponen yang terus ditingkatkan oleh perguruan tinggi. Tidak ada salahnya hal-hal tersebut dilakukan, justru perguruan tinggi harus melakukan hal tersebut.

Namun, karena terfokus dalam mencapai hal-hal tersebut, khittah pendidikan yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk meningkatkan derajat masyarakat Indonesia, membebaskan masyarakat dari belenggu-belenggu yang mengikatnya menjadi hilang. Sehingga, terjadi ketimpangan antara harapan dan realitas dari adanya pendidikan tinggi tersebut. 

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali