Guru Bangsa

Sumber gambar: pixabay.com
"Berapa jumlah guru yang masih hidup?"
Itu pertanyaan Kaisar Jepang setelah bom atom jatuh di Negeri Sakura tersebut. 

Kisah itu beredar luas. Bisa saja mitos, tetapi intinya narasi tersebut memiliki suatu substansi yang valid. Pemimpin Negeri Sakura itu memikirkan pendidikan yang begitu sangat penting bagi kelangsungan negerinya. Ia begitu sadar bahwa yang akan memajukan negerinya bukan melimpah ruahnya sumber daya alam, penduduk yang amat banyak, tetapi pendidikan yang akan membawa kearah mana negeri tersebut akan bergerak.

Sejak terpilih menjadi Presiden 2014 lalu. Presiden Joko Widodo mendengungkan suatu gerakan bagi peningkatan kualitas warga Indonesia. Revolusi Mental namanya. Namun, yang terjadi hingga saat ini adalah revolusi infrastruktur.

Memang infrastruktur merupakan penopang kehidupan bangsa. Namun sesungguhnya kualitas infrastruktur kehidupan bangsa semata-mata cermin kualitas manusianya. Selama bangsa dan segenap elemennya bicara pendidikan hanya seperti angin berlalu, dan bukan merupakan masalah kepemimpinan nasional, jangan harap masa depan akan bisa kuat, mandiri, dan berkarisma. Kunci kekuatan bangsa ada pada manusianya.

Revolusi Pendidikan adalah mutlak dilakukan oleh negara.  Pendidikan adalah soal interaksi antarmanusia. Interaksi antara pendidik dan peserta didik, antara guru dan murid, antara orangtua dan anak, serta antara lingkungan dan para pembelajar.

Revolusi pendidikan dimulai dengan revolusi guru. Persoalan guru adalah persoalan masa depan bangsa. Di ruang kelasnya, di setiap pembelajarannya ada wajah Indonesia di masa depan. Gurulah kelompok yang paling awal mengetahui potret masa depan bangsa. Cara sebuah bangsa memperlakukan gurunya adalah cermin cara bangsa memperlakukan masa depannya!

Polemik perubahan kurikulum sempat terjadi beberapa waktu lalu. Pengonsepan kurikulum nasional menjadi fokus pemerintah. Ya, memang kurikulum penting dalam pendidikan, karena melalui kurikulum pendidikan akan diarahkan. Namun, yang lupa adalah sebagus apapun kurikulum yang terkonsep akan mubazir andai disampaikan oleh guru yang diselimuti berbagai masalah.

Dalam silogisme ada rumusan seperti ini: Setiap manusia pasti memiliki kesalahan. Guru adalah manusia. Maka guru pasti memiliki kesalahan. Ungkapan tersebut benar, guru juga manusia biasa, dengan plus-minus sebagai manusia, guru tetap menjadi kunci utama. Seorang murid menyukai pelajaran buka hanya hanya karena pelajarannya diminati, tetapi ada sosok guru yang menginspirasinya. Guru menyebalkan menjauhi pelajarannya, guru yang menyenangkan akan dicintai oleh muridnya dan pelajarannya diikuti dengan baik.

Peran guru dalam menciptakan iklim belajar sangat berpengaruh pada hasil belajar siswanya. Senada dengan hal tersebut, Professor Eron August Lehtien, guru besar pendidikan dari Universitas Turku, Finlandia berpendapat bahwa masalah pendidikan di Indonesia bertumpu pada proses pembelajarannya.

Menurut Eron, pembelajaran yang bermutu akan menginspirasi murid sepanjang waktu. Untuk itu yang harus menjadi fokus pemerintah adalah bagaimana menghadirkan pembelajaran yang bermutu melalui guru yang berkualitas.

Persoalan Guru
Paling tidak, ada empat persoalan besar mengenai guru, empat persoalan tersebut yaitu, pertama, distibusi guru yang tidak merata. Daerah satu kelebihan guru, daerah lainnya kekurangan. Sekolah satu memiliki banyak guru, sekolah lain hanya memiliki beberapa.

Kedua, kualitas guru yang tidak merata. Kualitas pendidikan keguruan sebagai sumber guru-guru nantinya harus ditingkatkan. Memberikan akses yang baik bagi guru dalam mengembangkan potensi diri dan kemampuan mengajar. Bukan hanya sekedar meningkatkan kualifikasi dengan sgelar pascasarjananya. Memang dengan jenjang lebih tinggi guru akan mendapat pengalaman lebih. Namun, apabila menjadi kewajiban dan guru-guru harus susah payah membiayai sendiri studinya akan berdampak pada proses mengajarnya disekolah-sekolah.

Ketiga, tingkat kesejahteraan guru yang rendah. Dengan sertifikasi guru memang mulai terjadi perbaikan kesejahteraan. Namun itu tidak dialami oleh seluruh guru. Guru PNS, dan yang memenuhi syarat administrasi tertentu yang bisa mendapatkannya. Selain itu, syarat-syarat administrasi yang harus dipenuhi untuk mendapatkan sertifikasi sering justru merepotkan guru. Bayangkan seorang guru yang lanjut usia, demi memenuhi jumlah jam mengajarnya harus menempuh perjalanan kesekolah lain yang cukup jauh agar syarat administrasi terpenuhi. Terlepas apakah statusnya sebagai PNS, honorer atau bahkan guru bantu yang diperlakukan tak honoured (terhormat), semua guru harus memiliki jaminan kesejahteraannya.

Keempat, jaminan perlindungan guru. Kasus-kasus yang menimpa guru akhir-akhir ini cukup memprihatinkan. Sekedar contoh, ada guru yang dianiaya oleh muridnya sendiri bersama orang tuanya di Makassar. Kasus pemenjaraan guru oleh wali murid. Kasus terbaru adalah guru yang dianiaya oleh muridnya sehingga menyebabkan sang guru meninggal dunia di Sampang. Kasus-kasus tersebut bukan terjadi sekali dua kali, namun sampai saat ini jaminan perlindungan bagi guru, melalui Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen maupun Permendikbud No 10 tahun 2017 belum memadai.

Persoalan-persoalan tersebut seyogianya harus dipecahkan. Bukan hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat. Peran negara dalam hal ini pemerintah dan masyarakat harus sinergis dalam rangka menciptakan kualitas manusia indonesia yang mumpuni. Bangsa ini meitipkan anak-anaknya kepada guru, sebaliknya kita harus hormati dan lindungi guru. Menjadi guru bukanlah pengorbanan, melainkan suatu kehormatan. Guru adalah tonggak kemajuan bangsa!  

Comments

Popular posts from this blog

Air Susah di 'Tanah Air' Indonesia

Pencemaran Nama Dalam Jaringan

Memulai Kembali