Jangan Putus Asa Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya
Artikel pernah tersiar dilaman harakatuna.com dengan judul "Belajar dari Teroris dan Korbannya"
Gerbangdunia.zone.id - Secara sederhana Hasibullah Satrawi menulis buku ini
berdasarkan pengalamannya dalam berjumpa dan berintraksi dengan mantan pelaku
tindak terorisme serta korban yang diakibatkan oleh tindakan tersebut. Banyak
sekali pembelajaran yang dapat diambil dari kehidupan pelaku dan korban. Hasib
begitu sapaan akrabnya menulis buku untuk mencoba memahami segala macam sisi kehidupan teroris dan
korbannya dalam sudut pandang ibroh (pembelajaran)
dan hikmah sesuai dengan tuntunan agama Islam.
Pria lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir ini
merefleksikan pikiran dan upaya advokasinya terhadap masalah-masalah terorisme.
Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengkampanyekan suatu
perdamaian dalam berkehidupan. Latar belakang keislaman yang kental membuat
Hasib dengan lugas mengemukakan pandangan islam terhadap bentuk-bentuk kegiatan
terorisme yang mengidentikan diri kepada Islam dibalik tindakan-tindakan
tersebut.
Buku ini terdiri dari tujuh bagian utama serta prolog oleh
Imam Prasodjo dan epilog oleh Prof. Azyumardi Azra. Bagian pertama berjudul
“Anugerah Perjumpaan” dimana pada bagian ini merupakan awal bagi Hasib dalam
bercengkrama dengan pelaku terorisme serta para korbannya.
Perjumpaan-perjumpaan yang dilakukan mengarahkannya kepada suatu konklusi
mengenai kehidupan pelaku saat masih dalam jaringan terorisme hingga akhirnya
keluar dan mencoba untuk melakukan rekonsiliasi dengan para korbannya. Begitu
pula dengan korbannya dimana rekonsiliasi dengan mantan pelaku merupakan hal
luar biasa dari seorang manusia yang menjadi korban tindakan terorisme.
Pada pertengahan tahun 2013, penulis bertemu dengan seorang
mantan teroris atau kombatan yakni Ali Fauzi. Ali Fauzi merupakan adik termuda
dari tiga terpidana terorisme kasus bom Bali 1 2002 yaitu, Ali Ghufron, Amrozi
dan Ali Imron. Sebagai adik, Ali Fauzi sempat dikader oleh Ali Ghufron di
Institut Lukmanul Hakim Johor Baru Malaysia bersama Dr. Azhari dan Noordin M.
Top serta dikirim ke Akademi Militer Moro Islamic Liberation Front (MILF)
Filipina untuk belajar merakit bom dan taktik peperangan (hlm. 7-8).
Bagian kedua dari buku ini berudul “Kasih Sayang yang
Terkikis”. Dalam bagian ini Hasib mengemukakan tentang keberadaan teroris
khususnya di Indonesia, latar belakang yang menyebabkan seseorang percaya dan
mau menjadi teroris dengan melakukan tindakan-tindakan yang menurut ideologi
dan ajaran mereka benar. Kemudian diuraikan pula hal-hal yang menyebabkan
mereka berhenti dan memutuskan untuk keluar dari jaringan terorisme yang selama
ini mereka ikuti.
Harus ditegaskan sejak awal, tidak ada faktor atau latar
belakang yang tunggal dalam dunia terorisme. Para teroris mempunyai faktor dan
latar belakang yang berbeda-beda hingga pada akhirnya berkomitmen dengan
ideologi kekerasan bahkan bergabung dengan jaringan teroris (hlm. 35).
Hasib menguraikan beberapa faktor yang menjadi awal
ketertarikan seseorang dalam dunia terorisme diantaranya adalah: semangat keagamaan,
kezaliman terhadap umat Islam, sosial ekonomi, teman dan keluarga, hubungan
guru-murid, balas dendam, ideologi, serta mengatasnamakan agama dan umat.
Kemudian ijtihad ulang dari para teroris sendiri setelah bertemu dengan
ulama-ulama lain yang berdakwan di jalan non-kekerasan serta perjumpaannya
dengan korban merupakan awal bagi para teroris dalam memperbaiki diri menjadi
lebih baik.
Bagian ketiga dari buku ini berudul “Ketika Harus Kehilangan
Anggota Tubuh”. Perjumpaan Hasib dengan para korban terorisme yang sebagian
besar mengalami cacaat fisik merupakan suatu pembelajaran bagaimana ia masih
bisa dan terus menjalani kehidupannya ditengah kekurangan yang dimilikinya.
Walaupun sudah dibantu dengan alat bantu lainnya namun itu tidak bisa
menggantikan apa yang telah diberikan oleh Allah SWT. Hal tersebut seperti yang
dialami salah satu korban Bom Kuningan di depan Kedutaan Besar Australia tahun
2004 silam yakni Sudirman A Thalib dimana ia kehilangan mata kirinya akibat
serpihan logam yang mengenai matanya.
“Ketika Harus Kehilangan Orang Terkasih” adalah judul dari
bagian keempat. Akibat yang ditimbulkan dari tindakan terorisme berupa
pengeboman tidak hanya menjadi penderitaan korban yang terdampak langsung di
lokasi kejadian. Namun dirasakan juga oleh para keluarga korban yang
kehilangan. Ada seorang istri yang kehilangan suaminya yang menjadi korban bom.
Adapula suami yang kehilangan sang istri untuk selamanya. Bahkan anak yatim
piatu pun lahir akibat kejadian tersebut. Selain kehilangan untuk selamanya,
sebagian keluarga juga kehilangan keluarganya secara utuh. Ada yang hanya menyisakan
sebagian anggota tubuhnya, bahkan adapula yang sampai saat ini tidak ditemukan
karena sulit teridentifikasi.
Tidak selamanya seorang teroris akan menjadi teroris dan
tidak selamanya korban dan keluarga akan terus memusuhi para teroris. Ada
saatnya titik dimana keduanya akan saling meminta maaf dan memaafkan. Dalam
bagian kelima buku ini diuraikan tentang bagaimana rekonsiliasi yang terjadi
antara korban, keluarga korban dan mantan pelaku terorisme. Tidak mudah memang
untuk berekonsiliasi, khususnya bagi korban dan keluarganya. Namun sesulit
apapun itu terjadi, kesadaran akan mahkluk yang berasal dari Allah dan akan
kembali kapada Allah membuat sebagian korban memutusjab untuk berekonsiliasi. Memang
hal tersebut melalui proses yang panjang.
Pada akhirnya, pemaafan adalah kesadaran. Yaitu kesadaran
bahwa yang terjadi adalah takdir Allah SWT. Tidak ada yang bisa menolak takdir,
tidak ada yang bisa mendorong takdir. Takdir adalah kehendak Allah SWT dengan
segala hikmah dan pembelajaran di dalamnya (hlm. 143). Dengan kesadaran yang
terjadi adalah takdir, sebagian korban menjadi lebih tenang dalam menjalani
segala dampak buruk dari musibah yang terjadi. Bahkan dengan kesadaran yang
terjadi adalah takdir, sebagian korban merasa tidak ada masalah dengan siapa pun,
termasuk dengan para teroris. Hingga yang bersangkutan dengan segala keringanan
hati bisa saling memaafkan dan berekonsiliasi dengan para mantan teroris (hlm.
144).
Dalam kehidupan tentunya seseorang memiliki nilai-nilai yang
dianutnya. Begitu pula korban tindak terorisme dapat memaafkan bahkan
berekonsiliasi dengan mantan pelaku merupakan suatu hal yang dilandasi oleh
nilai-nilai luhur yang berkembang. Dalam bagian keenam ini “Perwujudan
Nilai-Nilai Luhur” diuraikan sedemikian rupa agar masyarakat umum bisa menggali
nilai-nilai yang ada di dalam diri korban.
Dalam konteks seperti ini, apa yang dilakukan oleh sebagian
korban dan mantan pelaku terorisme, khususnya korban yang sudah menerima
musibah yang ada dengan lapang dada bahkan rekonsiliasi dengan mantan pelaku
terorisme, bisa menjadi contoh bagaimana nilai-nilai luhur yang ada ditegakkan
dan dilakukan. Hingga masyarakat tak hanya mendapatkan siraman nilai-nilai
keluhuran yang tak berbentuk, melainkan juga dapat contoh nyata bagaimana
nilai-nilai luhur tersebut diwujudkan dan diamalkan (hlm. 162).
Dari uraian-uraiannya, Hasib menyimpulkan refleksi
pemikirannya berupa apa yang dapat kita ambil dari tindakan teroris dan para
korbannya. “Mengambil Ibroh”
merupakan kesimpulan dari buku ini. Dimana Hasib, sang penulis mengemukakan
pembelajaran (ibroh) yang dapat kita
ambil dari tema buku tersebut. Kisah-kisah korban menjadi inspirasi bagaimana
menjalani kehidupan selanjutnya. Sikap tidak membalas kekesarasn dengan
kekerasan, tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan. Justru yang harus
dilakukan adalah mengedepankan proses perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat.
Membalas kekerasan dengan kebaiakan, membalas ketidakadilan dengan keadilan.
Pada akhirnya, ibarat dua sisi mata uang, pemaafan dari
sebagian korban terorisme dan pertaubatan dari sebagian mantan pelaku merupakan
tampilan dari satu nilai, yaitu kelapangan hati dan ketangguhan mental.
Sedangkan semangat tidak membalas kekerasan dengan kekerasan oleh si korban dan
semangat tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan oleh si mantan
pelaku, tak ubahnya dua arus kehidupan yang bermuara pada satu samudera, yaitu
kedalaman hidup. Inilah ibroh kehidupan
dari orang-orang yang meminta maaf dan memaafkan.
Informasi buku
Judul: Jangan Putus Asa Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya
Penulis: Hasibullah Satrawi
Penerbit: Aliansi Indonesia Damai (AIDA)
Cetakan: Pertama, Februari 2018
Tebal: xx + 226 halaman
ISBN: 978-602-51366-0-3
Penulis: Hasibullah Satrawi
Penerbit: Aliansi Indonesia Damai (AIDA)
Cetakan: Pertama, Februari 2018
Tebal: xx + 226 halaman
ISBN: 978-602-51366-0-3
Comments
Post a Comment